Cho Kyuhyun | Choi Sooyoung
AU, Romance, Crack Humor, Marriage Life | PG Rated
–
“Isn’t she precious?”
—
“Untukmu, apa sih yang tidak?”
“Isshh. Aku tahu kau menggelikan sedari lahir.”
“Makanya kau dilahirkan untuk melengkapiku.”
“Ralat, kau juga menjijikkan.”
—
Choi Sooyoung, namanya.
Dia perempuan cantik berumur 21 tahun. Dia mahasiswi kedokteran. Surainya panjang, coklat ikal dan menggiurkan. Badannya tinggi, semampai kok. Ia punya mata bulat. Senyumnya manis, manis sekali. Pipinya kadang nyaris menjadi santapanku saat kelaparan. Bulat banget. Bibirnya tipis, berwarna peach seperti buah favoritku. Rasanya juga sama-sama manis, hihi.
Sudah 2 tahun ini dia menenteng nama ‘Cho’ menggantikan marga ayahnya. Dia merupakan mantan pacar adik sepupuku, Chanyeol, sebelum menjadi istriku. Aku masih ingat benar bagaimana aku yang selalu mengacaukan kencan mereka. Mengganggu mereka. Namun berakhirnya hubungan mereka sama sekali bukan campur tanganku. Chanyeol saja yang tahu diri, ia katakan padaku bahwa sebaiknya ia memacari gadis yang umurnya dibawah dia. Saat itu aku tersenyum simpul-sok bijaksana- dan mengatakan kepadanya bahwa apa yang ia lakukan sudah benar.
Kami menikah dengan rintangan susah bahkan lebih susah daripada memenangkan skor flappy bird tertinggi sekalipun. Ayahnya menentang keras lamaranku. Jelas saja, jika aku seorang Choi Jungnam, aku juga akan menolak lamaran kepada anak perempuanku satu-satunya yang masih berusia 19 tahun. Saat itu ia baru kuliah memasuki semester dua, alias baru setahun kuliah. Aku ngotot secara halus. Lalu aku katakan pada mertuaku itu bahwa aku sudah membuat anak gadisnya itu tidak ‘gadis’ lagi -padahal aku melakukannya tepat setahun setelah kami menikah-. Ayahnya jelas murka. Ia pemegang kuat agama. Aku hanya bisa tersenyum bahagia saat seminggu kemudian kami sudah berdiri di altar, mengikat janji kami satu sama lain.
Abbeonim, mianhae. Hehe.
Sooyoung itu manja. Sekali. Dia berada 6 tahun dibawahku. Sisi kekanakannya masih kental. Suatu hari, saat aku protes akan sifatnya itu, ia berkata dengan polosnya bahwa aku seperti kakak lelaki untuknya. Makanya ia bersikap manja kepadaku. Saat itu aku menghindarinya seharian karena kesal akan ucapannya. Kakak katanya? Aku pun bersikap cuek dan dingin kepadanya. Namun aku lupa bahwa sehari-hari ia juga cuek (dia manja kalau perlunya saja), membuatku menelan kekesalanku dalam-dalam dan menegurnya duluan.
Tapi tidak apa, aku mencintainya. Sooyoung itu seperti..
.
.
“Yya OPPA!”
Aku tersentak kaget saat tiba-tiba gelombang bunyi keras tepat di gendang telingaku. Teriakan itu sontak menghentikan lamunanku. Aku mengelus dadaku setelah beberapa detik terkejut. Dengan kesal aku menoleh menghadapnya. Ia menatapku tak kalah sengit.
“Kan aku sudah bilang kalau makalah itu dikumpul besok. Aku minta tolong padamu untuk mengetiknya. Kenapa melamun?” Kesalnya sambil memukul pundakku. Aku menatapnya heran sekaligus kesal.
“Kau mau membuat aku mati serangan jantung?” Kataku sengit. Ia meletakkan kedua tangannya di depan dada.
“Maaf.” Ucapnya. “Habis, oppa melamun.”
Aku menatapnya tak percaya lalu aku melepaskan kacamataku. Ia menatapku yang bersiap-siap mematikan laptop di hadapanku.
“Ya.. ya.. oppa?” Ia tampak bingung. Aku tersenyum dan mengecup bibirnya.
“Semangat kerjanya ya, sayang!” Kataku saat berdiri sambil mengepalkan tanganku dihadapannya. Lalu aku bergerak menuju ranjang kami.
“Oppaaaa!” Ia mulai merengek. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku pelan. Aku membuka selimut sebelum menggulung dibawahnya.
Suara tapakan kaki mendekat terdengar. Aku terkekeh pelan. Ia mau memulai aksinya, ternyata. Lekas aku bergerak memunggunginya.
“Oppa?”
Ranjang bergerak, aku merasakan tiba-tiba perutku dirangkul oleh tangannya.
“Kurang lebih 4 tahun lagi, aku akan menyelesaikan kuliahku. Dan aku akan tinggal dirumah seperti yang engkau mau.” Ia tampak memulai kata-katanya. Halah, aku sudah hafal. Pasti setelah ini ia berkata : ‘Aku rela kok tidak bekerja menjadi dokter meskipun aku menghabiskan 5 tahunku sekolah untuk ini.’
“Aku rela kok tidak bekerja menjadi dokter meskipun aku menghabiskan 5 tahunku sekolah untuk ini.” Tebakanku tak pernah jauh ataupun melenceng dari sasaran.
“Jadi, bantu aku selesaikan makalahnya, ya?”
Aku menghela nafas.
“Bukan membantu, tapi aku yang membuatnya.”
Ia tertawa kikuk. Namun semakin mengeratkan rangkulannya.
“Oppa jebal.” Suaranya melembut, mencicit, dan aku selalu saja jatuh kepadanya jika sudah seperti ini.
Namun kali ini tidak. Harus tidak.
“Sayang, do it yourself.”
Ia masih keukeuh. Tak gentar. “Akan aku berikan apa yang kau mau.”
Aku membuka mata, sedikit tertarik. Aku berdehem sebentar. “Termasuk..”
“Termasuk itu.” Suaranya terdengar malu-malu. Aku tersenyum bahagia diam-diam.
Aku teringat sesuatu. “Tapi kau sedang mens?” Tanyaku memastikan. Ia terdiam.
“Memang kenapa?”
Gadisku! Kenapa katanya?
Aku berdehem lagi. “Tidak sehat jika melakukannya.”
“Oppa, ciuman itu tidak berdampak apapun meskipun aku sedang atau tidak.” Kata-katanya membuatku tertohok.
Pipiku memerah. Yaampun, apa yang anak ini pikirkan? Dan, APA PULA YANG AKU PIKIRKAN?
Aku tak tahu apa aku yang terlalu pervert atau dia yang kelewat lugu dan polos.
Aku terdiam untuk beberapa saat. Ia menggoyangkan badanku.
“Oppa, tolonglah.” Rayunya.
Aku sudah kelewat malu. Akhirnya aku memutuskan untuk menolaknya sekali lagi. Yaa, tak apalah. Hitung-hitung membuatnya mandiri.
“Oppa mengantuk, sayang.”
Setelah itu ia melepaskan pelukannya dan bangkit dari tidurnya.
“Baiklah, kalau begitu aku akan memperlambat sekolahku.” Katanya. Eyyy, mulai merajuk dia. Hihi.
Aku berbalik menatapnya. Wah, matanya seolah-olah ingin membunuhku sekarang juga.
“Jangan-” Ucapku dengan raut tidak setuju. Sinar matanya mulai penuh harapan melihat ekspresiku.
“- nanti semakin lama kerutanmu semakin banyak.”
Ia melotot. Aku terkikik.
“Aku akan bekerja! Aku tak akan tinggal dirumah terus. Meskipun 10 tahun lagi selesai, aku akan bekerja, Cho Kyuhyun!”
“Baguslah, beban hidup kita menanggung sama-sama. Ahh, romantisnya!”
“YYA OPPA!”
—
Ia merengut saat aku membuka pintu mobil untuknya. Ia turun dengan hentakan heels yang dibesar-besarkan. Yaampun, itu heels atau godam?
“Hei, jelek kalau tidak tersenyum.” Godaku di depan telinganya. Ia menatapku sambil tersenyum remeh.
“Lucu?”
Aku tertawa dan mengacak rambutnya. Ia menepis tanganku. Aku kembali tertawa. Setelah menutup pintu mobil, aku melingkarkan tanganku di lengannya. Menariknya lembut memasuki aula besar yang penuh keramaian.
Tepat di depan pintu masuk, ia menghentikan langkahnya, membuat aku terhenti juga.
“Wae?”
“Oppa, lepas ya?” Rayunya sambil memegang kerah mantel besar yang membungkus tubuhnya. Aku berdecak sambil menggelengkan kepala.
“An-ni-yo.” Kataku sambil menggerakkan telunjuk di depan wajahnya. Ia menghela nafas lalu kembali melangkah setelah aku menariknya.
“Kau akan malu melihat pasanganmu salah kostum seperti ini.” Bisiknya saat kami berjalan memasuki aula. Aku tersenyum tipis.
“Tidak, kau tetap cantik.” Bisikku kembali. Ia mencubit lenganku yang melingkari lengannya.
“Waw waw.. uri Kyuhyun!”
Aku menoleh saat suara yang cukup familiar terdengar di telingaku. Seorang lelaki berjas hitam kecoklatan bergerak mendekatiku dengan gelas berisi minuman ditangannya.
“Jaljinae?” Katanya ramah. Aku memicingkan mataku. Sampai tiba-tiba senyum menyebalkan milik sahabatku semasa SMA terlintas di wajahnya. Aku melepas lengan Sooyoung.
BUGH!
“YA CHANGMIN!” Seruku lalu tersenyum lebar kepadanya.
Ia memegangi pundaknya yang kena sasaran tanganku barusan.
“Menyapa sih. Menyiksa orang juga.” Sindirnya. Aku hanya menyengir.
Tatapan Changmin beralih kesampingku. Seketika ia tegap lalu berdehem dan tersenyum sumringah.
“Changmin.” Sapanya memperkenalkan diri. Aku menatap tangannya yang terulur. Tatapanku beralih ke Sooyoung. Ia tersenyum lalu mereka berjabat tangan.
“Sooyoung.” Ucapnya.
Setelah itu Changmin mendekat dan berbisik. “Kau memang pintar. Dia cantik sekali.”
Aku tersenyum bangga. Sebelum ia melanjutkan perkataannya. “Dan dia juga seksi. Ya Tuhan, aku dapat melihat mini dress merahnya dari sini.”
Aku melotot. Aku lupa bahwa Changmin adalah seorang sahabat yang hobinya mencekokiku dengan video mature rated semasa SMA.
“Aku sekarang tahu kenapa Tuhan membiarkanmu melajang tua.” Umpatku. Ia menatapku sengit tidak terima.
Sebelum ia membalas memukulku, aku meraih pinggang Sooyoung menjauhi Changmin.
“YYA!”
Aku berbalik dan tertawa kepadanya.
“Aku akan menghubungimu.” Ucapku tanpa suara dan memberinya ciuman jarak jauh. Tawaku mengeras saat raut wajahnya sama seperti orang yang ingin muntah.
“Geurom, aku mendengar dia memujiku cantik.” Ucap Sooyoung. Aku menoleh kearahnya dan ia sedang tersenyum manis tanpa menatapku.
Aku memutar bola mataku. “Changmin itu memang lebih tampan dibanding semua warga sekolah kami dulu. Namun aku yang paling tampan diantara semuanya.”
Ia menatapku datar.
“Seharusnya kau bangga karena-“
“Sooyoung!”
Secepat aku mengedipkan mata, tiba-tiba tubuh wanitaku itu sudah dipeluk oleh seorang lelaki.
“Yah Park Chanyeol!”
Hei – hei ada apa ini? Hadirin, pengantin prianya memeluk istriku!
“Hei-hei sudahlah. Chanyeol semoga kau bahagia!”
Aku memeluk Chanyeol secepat kilat saat berhasil melepas keduanya. Chanyeol tak bergeming.
Setelah aku melepasnya, ia mendekati Sooyoung dan menangkup wajahnya. Aku menyilangkan tangan didepan dada melihat mereka.
“Aku tahu kau pasti akan datang. Meskipun terlambat.”
Mereka tertawa berdua. Aku hanya menatap mereka malas lalu meneguk minuman yang ditawarkan oleh pelayan barusan.
“Boo!”
“Uhuk!”
Aku tersedak, membuat Sooyoung menoleh dan mendekatiku. Ia menatapku khawatir.
“Gwaenchana?” Paniknya. Aku mengangguk lalu berbalik.
“Ya Kwon Yuri?” Aku menatapnya kaget. Ia tertawa senang lalu bergerak mendekatiku.
“Yya! Kau bahkan tidak mengucapkan apapun padaku?” Ia menyodorkan tangannya. Aku kebingungan. Hingga sesuatu muncul di kepalaku.
“Yuri kau….”
Aku masih menggantungkan ucapanku sambil terus menatapnya dari atas kebawah.
“Minggir, babo. Unnie chukkae~”
Sooyoung tiba-tiba saja memeluk Yuri.
“Chanyeol kau bilang akan memacari yang lebih muda.” Ucapku pada Chanyeol. Dia tesenyum kikuk sambil menggaruk kepalanya.
“Yuri bahkan hampir lebih tua dariku.”
“YYAK!”
Aku meringis memegang perutku yang disikut oleh Yuri.
“Dan dia bengis.” Desisku kesakitan. Yuri kembali meneriakiku.
“Chanyeol-ah, kkaja!”
Disaat sibuk bertengkar dengan Yuri, aku mendapati istriku dan suami wanita di depanku ini bergandengan tangan berjalan menjauhi kami.
“YA!”
—
Aku mendapatinya meringkuk dibalik mantel itu sembari duduk di pinggiran danau. Aku menghampirinya dengan dua gelas kopi hangat di tanganku.
“Kau harus berterimakasih padaku.” Ia memandangku lalu memandang mantelnya. Ia tersenyum manis dan mengambil segelas kopi hangat dari tanganku.
“Oppa gomawoyo oppa.” ucapnya lalu memelukku dari samping dengan satu tangan. Aku tertawa lalu memeluknya balik. Ia menyandarkan kepalanya di dadaku.
Beberapa menit kedepan kami hanya diam. Memandangi riak danau dan ikan-ikan yang tampak dari atas sini. Beberapa orang mulai meninggalkan tempat ini. Maklum, sekarang sudah jam 11 malam. Hanya orang aneh seperti kami lah yang masih tinggal disini. Hehe.
“Umurmu berapa, sih?” Tanyaku. Ia mendongak menatapku sinis.
“Haish, masa umur istrimu tidak tahu?” Aku tersenyum. Kembali menariknya kedalam pelukanku setelah meletakkan kopi di sampingku.
“Bukan begitu, cantik.”
Ia bangkit duduk tegap saat aku mencubit hidungnya. Matanya membulat menatapku. Hidungnya memerah, pipinya ikutan memerah di terpa angin malam. Rambutnya sepinggang terurai dengan poni tirai itu membuatku menahan nafas.
“Kemarilah.” Ajakku sambil melebarkan kakiku. Ia menatapku sejenak lalu tersenyum sumringah. Ia bergerak mendekatiku lalu duduk tepat di depanku. Kepalanya menggelayut di dadaku. Aku tersenyum, manjanya keluar jika sudah seperti ini. Aku hanya bisa melingkarkan tanganku di tubuhnya. Sambil sesekali menghirup dalam-dalam aroma rambutnya yang berada dibawah daguku.
“Oppa?”
Aku menatapnya. Ia yang tadi mendongak menatapku menurunkan kepalanya, menatap lurus riak di danau.
“Ada seorang lelaki yang menyatakan cintanya kepadaku. Tadi siang.”
Aku langsung menatapnya. “Nugunde?”
Ia tampak menghela nafasnya. “Dosenku.”
Aku membelalak kaget. “Mwo?”
Ia bangkit dari posisinya. Kini ia duduk dihadapanku lalu bergerak lebih mendekatiku.
“Aku takut, oppa. Dia menyentuhku saat itu. Disini, dan disini.” Mataku membara saat jemari Sooyoung mengarah ke dagu dan pipinya. Gila! Dosen itu cari mati, ya?
“Lalu, kau katakan apa?” Tanyaku menggebu. Dia menunduk.
“Aku tidak mengatakan apapun.”
Mwo? Tidak katanya?
“Wae? Kenapa kau tidak mengatakan padanya bahwa kau sudah menikah? Atau lebih baik kau tunjukkan cincin pernikahan kita? Kenapa juga kau tidak memberi tahu padaku lebih awal? Aku akan menghajarnya! Berani sekali dia menyentuh istriku! Dia pikir dia siapa? Dia-”
“Oppa-”
“Memang dosen kurang ajar-”
“Yya oppa-”
“WAE?”
Aku menatapnya nyalang. Ia balas menatapku dengan pandangan bingung.
Beberapa detik dia memandangku seperti itu, membuatku mau tak mau menatapnya tak kalah heran.
“Wae?”
Perlahan, aku melihatnya membentuk senyuman, lalu tertawa. Keras, semakin keras. Membuatku merasa seperti orang bodoh disini.
“W-wae?” Ulangku. Ia tak menggubrisnya. Masih tertawa dengan tatapannya kepadaku yang sangat membuatku malu. Sebenarnya kenapa-
Tunggu!
Aku menatapnya teliti. Sesuatu aneh di hidungnya. Hidungnya bergerak saat tertawa. Itu tandanya ia…
“Kau bohong?” Gumamku. Ia menatapku lalu kembali tertawa.
“Aigoo.. Aigoo. Nae nampyeon jeongmal kyeopta!”
Aku menatapnya sengit. Ini akibatnya memperistri gadis yang masih sangat belia. Dia benar benar kekanakan.
“Yya!”
Aku terkekeh saat tiba-tiba ia menghentikan tawanya saat jariku mengetuk dahinya.
“Oppa, materi kuliahku disini. Jangan sentuh.” Katanya mengultimatum sambil mengelus dahinya. Aku terkikik. Lalu kembali menariknya ke dalam rangkulanku.
“Kalau cerita tentang dosen itu benar-benar ada, aku akan menghabisinya.”
Kudengar sorakan mengejek dari bawahku. “Mungkin Changmin benar, kau memang suka menyiksa orang.” Ungkapnya.
Aku tersenyum tipis tak membalas ucapannya.
“Hah, mungkin sekarang Chanyeol dan Yuri sedang melakukannya.“
“Aish geumanhae!” Aku berhenti berkata saat wanita dibawahku ini berseru. Seperti biasa, seruannya itu seperti masuk ke telingaku, besar banget man.
“Kenapa?” tanyaku sambil memegang telingaku. Ia menghela nafas lalu mencubit tanganku yang melingkar di depan perutnya.
“Kenapa sih kau itu mesum?”
“Mesum dari mananya?” Belaku. Ia mendongak menatapku dengan sinis.
“Halah! Dari segi apapun kau mesum. Untuk apa kau membayangkan Chanyeol dan Yuri segala? Gila!”
Aku tersenyum lalu kembali mengeratkan pelukanku.
“Baiklah, sekarang aku akan membayangkan kita.”
“Yak!”
Aku tertawa kecil.
“Hey,”
“Hmm?”
“Apa kau senang saat kita melakukannya?” Tanyaku. Sebenarnya, berniat menggodanya sih.
Terbukti. Ia terdiam, aku yakin pipi bakpaonya itu sudah seperti bakpao isi kacang merah. Bulat dan merah. Hihi.
“Sooyoung?”
“Kenapa oppa bertanya seperti itu?” Bentaknya nyaring. Aku hanya tertawa.
“Ayolah jawab.” Rengekku.
“A-aku..”
“Ya?”
“Aku.. aku tidak suka.”
Aku terdiam. Lalu membenarkan posisi duduk kami.
“Benarkah?” Tanyaku pura-pura kaget. Ia menunduk.
“Iya.”
“Tapi, sepertinya menurutku tidak seperti itu.”
Ia mengangkat kepalanya. “Memang seperti apa?”
Aku memandang ke atas, seolah berfikir.
“Kau tampak selalu menyukainya.”
Ia melotot lalu menyikut perutku pelan.
“Kau fitnah!”
“Wae? Aku punya bukti kok!”
Ia menatapku kembali dengan sengit. “Mwo?”
“Saat kita melakukannya, kau bersuara seperti ..’Ahhh.. oppa..’ lalu kau-“
“YAK!”
—
“Apa?”
Ia tersenyum manis mendekatiku lalu duduk disampingku. Ia mengambil remote lalu mematikan televisi. Aku menatapnya heran.
“Oppa, bantu aku?” Yah yah yah, dia mulai merayu. Ia mengangkat tinggi bukunya dihadapanku. Aku mengerti tampaknya.
“Mengerjakan tugasmu lagi?” Tanyaku datar. Ia menggembungkan pipinya.
“Bukan. Oppa, jangan berfikir negatif dulu.” Katanya. Aku mengangguk malas mengiyakannya. Aku membenarkan posisi dudukku menghadapnya.
“Lalu, apa yang bisa aku lakukan, sayang?”
Ia tersenyum sumringah.
“Aku ada tes besok. Kau tahu sendiri, aku susah untuk yang namanya menghafal. Jadi, bantu aku menghafalnya, oke?”
Aku menatapnya. Lalu mengedikkan bahuku dan mengambil bukunya.
“Igo. Dari sini sampai uhm.. sini dulu, oke? Hehe.”
Aku menatap tulisannya. Paru-paru, sel genetik,..
Ya ampun, metode hafalannya nyaris sama dengan keponakanku, Lami, yang kini berada di kelas 5 sekolah dasar.
“Eottokhae?” Bingungku.
“Oppa sebutkan saja bagiannya, nanti aku akan sebut berapa jumlahnya di tubuh kita.”
Aku mengangguk setuju.
“Mulai?” Tanyaku. Ia mengangguk. Sekilas aku tertawa melihat wajah seriusnya seperti itu.
“Paru-paru?”
“Dua.”
“Costae?”
“Dua puluh empat.”
Aku terus menyebutkan bagian yang ia minta, lalu ia menjawabnya dengan penuh keseriusan. Wajahnya yang tampak manis itu jauh lebih menarik daripada buku tebal yang sedang aku genggam sekarang.
“Leukosit dalam darah?”
“5000 sampai .. 7000? Ah ani! 5000 sampai 10000 mel darah?”
Aku tersenyum melihat wajah penuh keseriusannya. Ah, menggodanya mungkin menyenangkan.
“Aegy?”
Ia tampak tak sadar. Memasang raut berfikir sebelum ia malah tampak terkejut. Ia terlihat gugup dan berfikir keras.
“Bayi?” gumamnya. Aku mendekat kearahnya.
“Aegy?” Ulangku.
Ia menunduk lalu mengangkat jari telunjuknya. “Satu?”
Aku meletakkan bukunya lalu merangkul pinggangnya. Menggodanya sungguh menyenangkan.
Aku mengangkat jari tengah dan jari manisnya. “Tiga.” Ralatku.
Ia mengangkat wajahnya yang berada dalam radius setengah jengkal dari wajahku. Ia melipat jari tengah dan manisnya yang aku angkat barusan sambil mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan mataku.
“Satu.” Ulangnya.
Aku menggeleng. “Baiklah. Dua saja.”
Ia menatapku sengit. “Satu. Satu ya satu saja.”
Aku terkekeh lalu meraup bibir mungilnya kedalam mulutku. Untuk beberapa detik aku bermain sendiri sebelum akhirnya ia mengikuti pergerakanku. Rangkulanku padanya mengerat. Jemarinya merayap naik dari dadaku ke pundakku lalu bergerak meremasnya.
Aish, shit!
Aku melepas ciuman kami lalu bergerak menyelipkan tanganku di bahu dan lututnya. Membawanya dalam kungkunganku. Bergerak ke kamar kami.
“Dua.” Bisikku kembali sembali meniup pelan lehernya.
Ia memejamkan matanya. “Tapi..”
“Dua.” Ulangku. Ia membuka matanya lalu menatapku dan menarik leherku mendekat.
Ia mengecupku kilat. Lalu tanpa perkiraanku ia membawaku dalam ciumannya. Aku kaget, tentu saja. Namun di sela-sela kegiatan memagut kami, aku tersenyum penuh kemenangan.
Dengan susah payah aku membuka pintu kamar kami dan mendorongnya.
“Satu kan?”
Dia polos. Dia lugu. Dan dia itu menggiurkan dengan wajah sayu seperti itu.
“Tidak, tentu saja dua.”
“Kalau kembar?” Ia masih menawar.
“Aku tetap akan membuatnya ulang.”
BRAK!
Pintu tertutup.
-FIN-
Annyeong! Hi! Hola! Bonjour! Assalamualaikum! Hehe
Udah lama rasanya gak ketemu (?), padahal baru sebentar hehe xD
Sebelumnya, selamat bertambah tua untuk kakak cantikku, Choi Sooyoung!!!!^^
FF ini sebenernya dalam rangka ulang tahun Sooyoung, meskipun gaada cerita tentang ultah sama sekali hehe
Garing ya? Gak lucu gak sih? Gagal banget humor yang aku sisipin di ff ini -_- Emang dari dulu gak bakat bikin ff humor sih, tapi kalau aku bikin ff sad readernya banyak juga yang bilang ‘Kok gak happy ending, thor?’ Hehe xD *ceritanya curhat*
Maaf kalau ceritanya menjurus ke ehem kuadrat ._.
Terkontaminasi ini akibat ff kyuyoung lainnya yang banyak adegan kiss scene buahahaha xD
Semoga aja ini dapet menghibur, byee!!^^
