Title : [part2] BLIND DATE ?
Author : kyuyoung1398
Main Cast : choi sooyoung, cho kyuhyun, choi sulli
Other cast : shim changmin
Length : series
Genre : romance
Dislaimer : ff ini murni dari hasil novel bacaanku dari kak aliazalea, judul yang sama dan pemikiran yang sama aku tulis di ff ini, dan bab babnya mungkin akan sedikit aku bedakan tapi dengan ending yang sama. Aku membuat ff ini dikarenakan betapa romantisnya novel karya kak aleazalea yang pasti cocok kalau diganti cast nya dengan kyuyoung, so kalo ada yang bilang ini plagiat atau apa ini murni dari novel kak aleazalea yang aku tulis ulang dengan cast kyuyoung.
Note : bagi yang bingung kenapa ada nama orang luar negeri yang jadi teman kencannya sooyoung, aku gabakal ganti dengan nama korea jadi masih tetap asli seperti novelnya, dan satu lagi kalo ada yang masih bingung dengan cerita yang ada di prolog, nanti kalian bisa nyambungin cerita prolog dengan last part(baru kemungkinan) hehehe :D
Happy reading ~
Aku memasuki Fresh Market, dan mulai memasukkan beberapa makanan serta minuman ke dalam trolley. Dengan pensil aku mencoret benda-benda yang sudah di dalam trolley satu per satu. Susu putih full cream, satu blok keju cheddar Kraft,satu kotak Kellog’s Frosted Flakes…. Daftarku terus berlanjut. Aku bergerak daribagian makanan segar, makanan beku, dan makanan kering. Hal terakhir yang akulakukan adalah mengambil satu ikat peterseli. Ketika aku sedang memilih peterseli yang paling segar seseorang melayangkan pertanyaan kepadaku.
“Excuse me, Ma’am, but do you know which lettuce that I supposed to get if I want to make a caesar salad?”Aku langsung menoleh, dan harus mundur selangkah. Laki-laki yang ada disampingku ternyata lebih tinggi dari perkiraanku. Akan tetapi, bukan tingginyayang membuatku melangkah mundur. Wajahnya terlihat seperti orang asia dan Aku jarang melihat orang asia yang mempunyai mata secoklat itu.aku tidak tahu bagaimana reaksi mukaku, yang jelas mulutku ternganga dan pupil mataku melebar. Laki-laki itu menatapku sambil mengerutkan dahinya. “Ma’am?” tanyanya lagi.Suaranya membuatku tersadar kembali dari serangan apopleksi. Aku menelan ludah, baru kemudian berkata, “Romaine. You need to get romaine lettuce to make caesar salad.” Suaraku terdengar seperti tikus terjepit. Laki-laki itu memandangku, seolah-olah aku sedang berbicara dalam bahasa Arab dengannya. Aku lalu sadar laki-laki ini tidak tahu selada apa yang dibutuhkan untuk membuat caesar salad. Ada kemungkinan dia juga tidak tahu bentuk selada romaine seperti apa. Aku lalu menjulurkan tanganku ke hadapannya, mengambil satu ikat selada romaine, dan memasukkannya ke dalam plastik sebelum memberikannya kepada laki-laki itu. “Apakah ini cukup untuk enam orang?” tanyanya polos, sambil menggenggam selada itu dengan tangan kanannya.
“Enam?” tanyaku, hanya untuk memastikan. Laki-laki itu mengangguk.
“Men or women?” tanyaku
“Men. All men,” jawab laki-laki itu, sambil tersenyum.
Aku harus buru-buru membuang muka menghindari senyuman itu dengan mengambil satu ikat selada romaine lagi untuknya. Dengan tatapan matanya yang coklat pekat itu dan senyuman yang baru dia berikan, entah bagaimana aku masih bisa berdiri. Dunia ini memang tidak adil. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa kelihatan “beautiful”? Laki-laki satu ini begitu indah dilihat sehingga membuatku limbung. Seumur hidupku, tidak ada laki-laki yang bisa membuatku limbung seperti ini. Aku tidak tahu, apakah itu karena aku sudah kehilangan kemampuanku untuk tetap bisa kelihatan cool di hadapan laki-laki yang menarik perhatianku setelah terlalu lama bersama Changmin, atau karena sudah terlalu lama aku tidak melihat laki-laki seganteng ini setelah aku putus dengan Changmin. Kuserahkan selada romaine yang kedua kepada laki-laki itu. Ia segera meletakkan selada itu ke dalamtrolley, yang sudah terisi dengan setidak-tidaknya dua lusin kaleng heineken, lima botol pepsi berukuran satu setengah liter, dan berbagai macam keripik.
“Persiapan untuk nonton pertandingan malam ini?” tanyaku, sambil menunjuk
trolley-nya.
“Ya. Apakah kau fans olahraga football?” tanyanya, sambil tersenyum dan mata berbinar-binar.
“Tidak, tapi kebanyakan orang di kantorku fans berat olahraga ini. Gators malam ini akan berhadapan dengan Bulldogs, kan?” Laki-laki itu mengangguk lagi, senyumnya semakin melebar. Aku bisa tahu jadwal pertandingan football karena semua orang di kantor, terutama yang laki-laki,
tidak ada habis-habisnya membicarakan pertandingan antara tim American football dari University of Florida, The Gators, dengan tim dari University of Georgia, The Bulldogs.
“aku Kyuhyun Cho” ucap laki-laki itu, dan ia mengulurkan tangan kanannya.
Kusambut uluran tangannya yang terasa hangat. “Sooyoung Choi” balasku.
“Wow..ternyata kau orang korea?’’ tanyanya. Aku agak terkejut dengan pertanyaannya.
‘’ya, kau juga ?’’ tanyaku balik. Kyuhyun hanya mengangguk.
‘’kenapa kau bisa tinggal disini ?’’ tanyanya
‘’aku bekerja disini.’’ucapku. Kyuhyun hanya mengangguk mendengar jawabanku.
‘’kau juga ?’’tanyaku. lagi lagi Kyuhyun hanya mengangguk tapi dengan gerakan antusias. Tiba-tiba kami terdiam. “I better go then. Have fun watching the game,” ucapku. Aku bersiap-siap mendorong trolley ke kasir dan menghindar dari laki-laki bermata coklat itu, yang seakan-akan menarik semua oksigen dari saluran pernapasanku. Tiba-tiba Kyuhyun berkata lagi. “Apakah kau tahu apa lagi yang aku perlukan untuk membuat caesar salad?” Aku menghentikan langkahku, dan berpikir sejenak.
“Kau perlu keju parmigiano, lada hitam, dan tentunya bumbu caesar. Kau juga bisa menambahkan croutons di atasnya kalau mau.” Kyuhyun menatapku bingung. “aku tidak tahu semua bahan bahan yang kau sebutkan. Aku hanya tahu keju,” ucapnya, sambil berbisik. Mau tidak mau aku jadi tertawa lagi ketika mendengar kata-katanya dan melihat ekspresi wajahnya yang tersipu-sipu. Bagaimana mungkin laki-laki dengan tubuh sebesar dia bisa terlihat menggemaskan. Aku rasanya ingin membawanya pulang, membuatkan susu hangat untuknya dan membacakan cerita dongeng, kemudian memeluknya sampai dia tertidur. Aku menarik napas dalam-dalam. Aku tahukemungkinan besar aku akan menyesali keputusanku ini, tetapi aku tidak tega membiarkan orang yang jelas-jelas memerlukan bantuanku. Kudorong trolley belanjaanku ke salah satu sudut agar tidak mengganggu jalan orang lain. “Ayo, aku bantu mencari semua bahan untuk membuat caesar salad,” ucapku.
Kyuhyun terlihat terkejut dengan tawaranku, tetapi dia langsung menerimanya dengan sukacita. Ketika kami sedang berjalan menuju bagian keju, aku bertanya, “Mengapa kau ingin membuat caesar salad kalau tidak tahu apa yang kau perlukan?”
“Ini untuk taruhan. Merka bilang aku tidak bisa masak sama sekali. aku akan membuktikan mereka salah.” Aku menahan tawa ketika mendengar alasannya. “Mereka itu siapa?” tanyaku.
“Teman-temanku,” jawabnya, sambil memicingkan matanya. “Kau menertawakanku, ya?” tanyanya curiga. “tidak” jawabku pendek. Aku harus membuang muka agar dia tidak bisa melihat tawaku, yang aku yakin akan meledak sebentar lagi. Tampaknya Kyuhyun tidak tahu, membuat salad tidak bisa digolongkan dalam kategori memasak karena tidak ada bahan-bahan yang perlu dimasak. Dari sudut mataku aku lihat Kyuhyun sedang memperhatikan wajahku. “Kau memang menertawakanku” katanya putus asa. Aku tidak bisa menahan tawaku lagi. Untungnya kami sudah tiba di rak keju, aku segera mengambil satu pak keju parmigiano dan meletakkannya di dalam trolley yang didorong Kyuhyun. “Ayo, kita ambil bumbu caesar untukmu,” ucapku, dan berjalan mendahului Kyuhyun menuju rak bumbu-bumbu. “Sooyoung?” panggil Kyuhyun. Caranya mengucapkan namaku membuatku agak merinding. Seperti ada air dingin yang dialirkan dari ujung rambut ke seluruh
tubuhku.
“Yes,” jawabku, sambil tetap berjalan tanpa menolehkan kepalaku kepadanya. Aku berjalan beberapa langkah lagi diiringi bunyi roda trolley dan langkah Kyuhyun yang terdengar sigap, dan menunggunya berbicara lagi. Ketika dia tidak berbicara juga aku menoleh ke belakang.
“Ya…kyuhyun, kau tadi ingin bertanya apa?” tanyaku di menggeleng. Kami tiba di depan rak panjang berisi berbagai jenis caesar dressing. Aku mengambil brand kesukaanku, dan sekali lagi meletakkannya ke dalam trolley belanjaannya.
“Apakah kau punya lada hitam di rumah atau kau perlu beli?” tanyaku
“Kelihatannya ada, tetapi aku tidak tahu apakah itu sesuai dengan yang kita butuhkan. Lebih baik kita beli saja, untuk jaga-jaga,” balas Kyuhyun, sambil nyengir kepadaku. Aku mencoba tidak menghiraukan kata-kata Kyuhyun, yang menggunakan kata “kita” dan bukan “aku”. Aku lalu berjalan ke ujung rak panjang untuk mengambil satu kotak lada hitam dan menyerahkannya pada Kyuhyun.
“Apakan kau ingin croutons untuk saladmu?” Aku berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang. Kulihat sudut kiri bibir Kyuhyun tertarik ke atas, seolah-olah dia akan tersenyum. Merasa canggung dengan tatapannya, aku pun menurunkan tangan dari pinggangku.
“Kenapa tersenyum?” tanyaku ingin tahu.
“Tidak, rasanya kita nggak perlu croutons,” ucap Kyuhyun, jelas-jelas ia tidak menjawab pertanyaanku yang kedua. Sekali lagi dia menggunakan kata “kita”, seakan-akan aku dan dialah yang akan membuat salad itu.
“Okay, then you are set,” balasku, sambil tersenyum dan mulai melangkah kembali menujutrolley belanjaanku. Dari sudut mataku kulihat Kyuhyun mendorong trolley belanjaannya mengikutiku.
“I guess I am.” Kyuhyun terdengar khawatir ketika mengucapkan kata-kata itu. Kuhentikan langkahku, dan menatapnya. Trolley belanjaan Kyuhyun menyenggol pinggulku.
“Kau tahu cara membuat salad, kan?” tanyaku curiga.
“aku pernah melihat orang membuatnya,” jawabnya, dengan wajah memerah.
“Di mana?” Aku semakin bertambah curiga.
“Di TV.” Meledaklah tawaku. Kyuhyun pun tertawa bersamaku. Suara tawanya terdengar berat. Tampak kerut-kerut di sudut matanya, yang membuat wajahnya terlihat lebih ramah dan hangat.
“Man, you’re hopeless,” candaku.
“Kau bisa tanya apa saja tentang otomotif atau elektronik padaku, tetapi kalau untuk urusan makanan dan fashion aku betul-betul buta,” katanya, sambil masih tertawa. Kami lalu mulai berjalan lagi menuju trolley belanjaanku. “Cukup gampang sebetulnya membuat caesar salad, kau hanya…” Kucoba menggambarkan sedetail mungkin cara membuat caesar salad.Kyuhyun mendengarkanku dengan saksama. “Good. Kau ingat semua langkah-langkahnya persis seperti yang aku sudah jelaskan,” pujiku ketika Kyuhyun bisa mengulangi instruksiku dengan sedetail-detailnya.
“Ingatanku cukup kuat,” balasnya, sambil mengetuk kepalanya dengan jari telunjuknya.
“Well, you better go. Kau tidak mau ketinggalan pertandingannya, kan?” kataku, sambil mendorong trolley belanjaanku menuju kasir.
“Thanks for your help!” teriak Kyuhyun. Aku mengangguk dan melambaikan tangan, sambil tersenyum. Ketika sampai di rumah dan membongkar belanjaanku, aku baru tahu ternyata aku lupa membeli peterseli untuk makananku. Aku pun tertawa. Ternyata Kyuhyun telah memenuhi pikiranku lebih daripada yang aku perkirakan. Karena malas kembali lagi ke supermarket, aku akhirnya memutuskan membuat makanan lain dan menunda mencoba resep dari Cooking Channel untuk lain waktu. Setelah makan malamku siap, kunyalakan TV dan mencari channel CNN untuk menonton world news. Lagi-lagi China terkena gempa bumi, dan ada pesawat jatuh di Brazil. Seperti juga beberapa bulan yang lalu, keadaan perekonomian dunia masih terpuruk dan tampaknya tidak akan ada banyak perubahan untuk beberapa tahun ke depan. Aku selalu membuka mata dan telingaku lebar-lebar saat menonton CNN. Aku juga khawatir kalau-kalau Korea, negara tercintaku yang telah aku tinggalkan selama lebih dari sepuluh tahun, akan masuk liputan berita. Aku tahu apabila sesuatu yang buruk terjadi di Korea, seperti korea utara dan selatan yang sampai sekarang belum berdamai akan perang lagi, orangtuaku pasti akan memberitahuku. Tetap saja aku waswas karena telah meninggalkan orangtuaku, yang akan melewati umur 60 tahun mereka sebentar lagi, berada beribu-ribu kilometer dariku tanpa dijaga oleh siapa pun juga. Aku berharap suatu saat aku akan bisa kembali lagi ke Korea. Dalam keadaan ekonomi seperti saat ini, akan lebih menguntungkan apabila aku tetap tinggal di Amerika untuk sementara waktu.
^^^^
Bulan Oktober pun tiba, dan aku sudah menjadi klien MBD selama enam minggu. Reggie sempat meneleponku untuk mengajakku ke luar, tetapi aku menolaknya. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku tidak bisa menjalin hubungan romantis dengannya, meskipun aku terbuka apabila dia masih mau berteman denganku. Reggie memahami penjelasanku dan kami sempat bertemu makan siang ketika dia harus datang ke Winston-Salem untuk mengikuti seminar psikologi, yang diadakan Wake Forest University. Hingga kini Trevor tidak pernah meneleponku, dan aku sangat bersyukur oleh karenanya.
Setelah Gabriel, aku sudah pergi berkencan dengan empat laki-laki lagi. Tiga dari mereka bahkan tidak aku pertimbangkan sama sekali. Rob Adams sangat mengingatkanku akan Changmin. David Wu ternyata tidak bisa membedakan warna cokelat dengan hitam, alias buta warna. Ben Stewart, yang meskipun usianya sudah 38 tahun, masih memulai setiap kalimatnya dengan, “My mother said…”. Hanya satu dari mereka yang betul-betul menarik perhatianku. Dia bernama Jacob Sutter. Meskipun wajah dan penampilan keseluruhannya bisa digolongkan biasa saja, sepanjang kencan pertama kami aku selalu merasa nyaman dengannya. Berbeda dengan Gabriel, yang menjatuhkan “bom atomnya” kepadaku dua jam setelah aku bertemu dengannya, Jacob kelihatannya tidak memiliki rahasia yang harus disembunyikan. MBD mungkin sudah siap mencekikku karena setiap kali mereka menanyakan
apakah mereka sudah mempertemukanku dengan laki-laki yang berpotensi sebagai suami, aku akan menjawab tidak “COLD”, yang berarti ‘’meleset jauh dari sasaran’’.
Atau sudah “WARM”, artinya ‘’cukup mendekati sasaran’’. Khusus kencanku dengan Gabriel, aku akan menjawab sudah cukup “HOT” yaitu ‘’tepat sasaran’’, kalau saja dia tidak memiliki anak gadis yang umurnya lebih cocok jadi keponakanku daripada anakku. Sejujurnya, menurutku MBD betul-betul telah melaksanakan tugas mereka dengan baik. Aku yakin, aku tidak akan bisa menemukan semua lakilaki yang telah dipasangkan denganku oleh MBD jika aku mencari mereka sendiri.
Oleh karena itu, aku berencana menemui Jacob lagi malam ini untuk memastikan apakah aku bisa mengubah pendapatku tentangnya, dari “cukup mendekati sasaran” menjadi “tepat sasaran”.
Untuk kencan pertama kami Jacob-lah yang datang dari Durham, tempat dia tinggal, untuk menemuiku di Winston. Untuk kencan kedua aku mengambil jalan tengah dan memintanya menemuiku di Burlington karena aku tidak mau membebaninya datang jauh-jauh ke Winston lagi. Aku berjanji bertemu Jacob di salah satu restoran Jepang yang telah direkomendasikan banyak orang kepadaku. Jacob mengatakan dia tidak pernah makan makanan mentah, tetapi dia akan memberanikan diri mencobanya denganku. Aku sedang meluncur di I-40, jalan raya yang menghubungkan Winston dengan kota-kota lainnya, ketika tiba-tiba kurasakan setir mobil terasa agak berat dan lari ke kiri.Aku memang kurang paham urusan otomotif, tetapi aku tahu jika mobil yang biasa dikendarai terasa agak lain ketika sedang dikemudikan, maka pastilah ada komponen mobil itu yang tidak bekerja dengan sempurna. Perlahan-lahan kutepikan mobil ke bahu jalan dan berhenti. Kubiarkan mesin tetap hidup dan hanya menarik rem tangan, kemudian keluar dari mobil untuk memeriksa keadaan. Ternyata ban depan sebelah kiri memang agak sedikit kempes. Aku mempertimbangkan, apakah dengan kondisi ban seperti itu aku bisa sampai ke Brlington, yang masih membutuhkan waktu lima belas menit lagi. Aku bisa menelepon AAA, perusahaan yang menyediakan berbagai jasa yang berhubungan dengan isu-isu travel, mulai dari peta hingga mengganti ban yang kempes. Mereka akan mengganti banku selama aku makan siang dengan Jacob. Kulirik jam tanganku, aku masih ada waktu setengah jam sebelum waktu pertemuanku dengan
Jacob. Melihat kondisi ban mobilku, sepertinya ban itu tidak akan bertahan sampai di Burlington. Kalau aku harus menunggu hingga AAA datang, bisa jadi aku akan terlambat berkencan dengan Jacob. Aku pun segera mengambil keputusan. Kumatikan mesin mobil, kemudian membuka bagasi dan mengeluarkan dongkrak serta kunci ban. Untung saja hari ini aku hanya mengenakan jeans dan sweater turtleneck. Jadi, aku bisa lebih leluasa bergerak. Ketika aku sedang memompa dongkrak itu dengan kakiku, tiba-tiba kulihat sebuah Volvo SUV berhenti persis di belakang mobilku. Aku memperhatikan pemilik mobil itu, yang mengenakan kacamata hitam, keluar dari kendaraannya dengan langkah yang cukup luwes untuk ukuran laki-laki sebesar dia. Apakah dia juga mengalami masalah dengan mobilnya sepertiku? pikirku. Tiba-tiba dia meneriakkan namaku. “Sooyoung!”
Aku menatapnya bingung. Bagaimana dia bisa tahu namaku? Jelas-jelas aku tidak mengenalnya, tetapi tata krama tetap harus didahulukan.
“Yes?” Jawabanku lebih terdengar seperti pertanyaan.
“Flat tire?” tanyanya lagi.
“Yes,” jawabku lagi. Aku masih bingung. Siapakah orang ini?
Kemudian seperti bisa membaca pikiranku, dia berkata, “Kau tidak ingat aku, ya?” Aku tersenyum sopan kepadanya, tetapi aku yakin wajahku menggambarkan kebingunganku.
“aku Kyuhyun. Kau membantuku memilih lettuce di Fresh Market. Masih ingat?” Kyuhyun melepaskan kacamata hitamnya, dan mata coklatnya langsung menatapku dengan jenaka. Saat itu juga aku bisa merasakan sengatan listrik yang menyerang tubuhku. Aku tidak bisa bernapas. Aku berhenti memompa dongkrak dengan kakiku, lalu tertawa cemas. “Kenapa bisa bertemu kau lagi di sini, ya?” Suaraku agak bergetar. Kulihat Kyuhyun sedang menarik lengan sweater cokelatnya sambil tersenyum. “Ban serepnya di mana?” tanyanya, dan melangkah mendekatiku. Tiba-tiba ada angin yang cukup kuat berembus melewati tubuh Kyuhyun yang besar ke arahku, dan aku bis amencium bau cologne-nya. Untuk mencegah imajinasiku agar tidak memikirkan yang tidak-tidak, aku buru-buru menjawabnya, “Di bagasi,” sambil menunjuk ke bagasi mobil yang terbuka. Aku lalu berlutut di samping mobil dan mulai melepaskan semua baut ban satu per satu. Kudengar ada suara gedebuk yang sangat halus, dan ban serep sudah berada di sampingku.
“Boleh aku bantu?” tanyanya, sambil mengambil kunci ban dari genggamanku. Aku sebetulnya mau protes karena aku wanita mandiri yang bisa mengganti ban sendiri, aku tidak memerlukan bantuannya. Kyuhyun melihat ekspresi wajahku
dan menambahkan, “Kini giliran aku yang membantumu” ucapnya pelan. Aku mengangguk dan mempersilakannya mengganti ban mobilku. Dalam waktu lima menit dia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya, lalu meletakkan ban yang kempes, dongkrak, dan kunci ban di bagasi mobil.
“Thank you,” ucapku ketika Kyuhyun menutup bagasi mobilku. Kuserahkan selembar tisu basah kepadanya. Kyuhyun mengambilnya dan mengusap kedua telapak tangannya. Aku kemudian mengambil tisu bekas itu dari genggamannya. “Kau mau kemana?” tanyanya.
“Burlington,” jawabku. Tiba-tiba angin bertiup dan aku harus memeluk tubuhku untuk mengusir udara yang tiba-tiba terasa agak dingin. Tanpa kusangka-sangka Kyuhyun menarikku ke pelukannya dan mengusap punggungku. Sekali lagi aku merasakan sengatan listrik yang tadi menyengatku.
Bau cologne-nya yang tadi hanya samar-samar kini menyengat indra penciumanku dengan kekuatan penuh. Bau cologne itu semakin mengingatkanku betapa tampannya Kyuhyun, dan aku tahu aku harus menjauh darinya sebelum terlena dalam pelukannya. Akan tetapi, tubuhnya memang hangat sehingga aku tidak mencoba melepaskan diri.
Setelah beberapa detik, dia berkata, “Better?” Aku mengangguk. Kyuhyun kemudian menuntunku menuju mobil, membuka pintunya dan membiarkanku masuk. Setelah itu, ia menutup pintu mobil dan menunggu hingga aku menghidupkan mesin. mundur satu langkah untuk memeriksa banku sekali lagi, kemudian dia mengacungkan kedua jempolnya sebagai tanda oke. Aku pun menurunkan kaca mobilku dan berkata, “Thank you. Again,” ucapku.
“It was my pleasure,” balasnya, sambil tersenyum. Ketika dia mengucapkan katakata itu, seperti ada sesuatu dalam otakku yang berbunyi klik… klik… klik…. Aku merasa kata-kata itu penting dalam konteks yang lain, tapi aku tidak bisa ingat di mana aku pernah mendengar kata-kata yang sama diucapkan. Kyuhyun kemudian berjalan menuju mobilnya. Aku baru sadar, aku masih menggenggam tisu bekas yang tadi digunakan Kyuhyun. Kulemparkan tisu itu ke lantai mobil dan akan kubuang ke tempat sampah kemudian. Kuperhatikan lalu lintas yang ada di sebelah kiriku melalui kaca spion, kemudian meluncurkan mobil kembali ke jalan raya. Sepanjang perjalanan untuk menemui Jacob, aku merasa tidak tenang karena seperti ada sesuatu yang mengganjal. Suatu teka-teki yan gtidak
terselesaikan atau ditinggalkan tidak terjawab. Yang jelas, aku tidak bisa menghapuskan bau cologne Kyuhyun dari kepalaku, terutama karena bau itu sekarang menempel padasweater-ku.
Pada akhirnya, kencanku dengan Jacob tidak berjalan sebaik yang aku harapkan. Jacob sadar bahwa aku tidak menumpukan perhatianku kepadanya sepanjang kencan kami. Ia terlihat kecewa dan mengakhiri kencan kami lebih cepat dengan alasan dia harus mengunjungi temannya yang baru saja melahirkan. Sejujurnya, aku merasa bersalah terhadap Jacob. Akan tetapi, kepalaku terlalu penuh dengan sosok laki-laki bermata coklat pekat yang bisa menenggelamkanku hanya dengan tatapannya sehingga aku tidak terpikir untuk mengatakan kata “maaf” kepadanya.
* * *
Seperti biasanya, Sulli akan meneleponku setelah kencanku untuk mengetahui hasilnya. Dia bahkan lebih tertarik terhadap Jacob dibandingkan aku.
“eonie, Bagaimana date-nya?” tanya Sulli, penuh semangat.
“Biasa saja,” jawabku. Aku baru saja membuka pintu depan apartemen ketika telepon selularku berbunyi.
“Lho kenapa tidak excited begitu? Ada yang salah?” Sulli terdengar curiga. Tentu saja ada yang salah. Bukannya memikirkan Jacob, selama perjalanan pulang dari Burlington aku justru memikirkan Kyuhyun.
“tidak, tidak ada yang salah,” jawabku, sambil melangkah masuk ke dalam apartemen.
“Jadi, ada apa dong? Kemarin Jacob kan sudah masuk zona HOT, kok sekarang jadi COLDsih?”
Aku memang tidak pernah bisa berbohong kepada adikku ini. Dia terlalu jeli melihat tingkah laku manusia.
“Ya, sepertinya Jacob tidak cocok untukku.” Kulepaskan sepatu dan berjalan menuju kamar tidur.
“Oh, ma…n, padahal aku sudah setuju sekali dengan yang ini,” teriak Sulli kecewa.
Aku terpaksa tertawa mendengar suaranya yang penuh kekecewaan itu. “So, kapan dateselanjutnya?”
“Belum ada. Tiffany belum menelepon lagi,” jawabku. Sulli mengembuskan napasnya, dan berkata, “Oh begitu.” “By the way, aku tadi bertemu Kyuhyun,” ucapku tanpa ancang-ancang. Daripada menyimpan rahasia ini dan berisiko diomeli habis-habisan oleh Sulli karena tidak menceritakan kepadanya, aku memutuskan mengambil jalan aman dan berkata jujur.
“Kyuhyun? Cowok yang dari Fresh Market itu?” Suara Sulli langsung terdengar ceria.
Aku memang sempat menceritakan pertemuanku dengan Kyuhyun beberapa bulan yang lalu itu pada Sulli. Pada saat itu aku belum memiliki perasaan apa-apa terhadap Kyuhyun, selain bahwa dia tampan sekali.
“Yep,” jawabku, sambil mengatur telepon selularku agar suara Sulli bisa terdengar melaluispeaker. Aku kemudian menanggalkan sweater dan celana jeans yang aku kenakan dan menggantinya dengan kaus longgar dan celana piama.
“Di mana?” Kini suara Sulli semakin meninggi, yang menandakan dia sudah sangat tertarik terhadap Kyuhyun dan siap melupakan Jacob. Aku lalu menceritakan pertemuanku dengan Kyuhyun. Sulli mendengarkan dengan saksama dan sesekali menarik napas karena kaget.
“Oh, my God. He is so sweet,” ucap Sulli, dengan nada seperti si punguk yang merindukan bulan.
“You think so?” tanyaku ragu. Aku tidak tahu apakah normal menyukai laki-laki yang baru aku temui dua kali.
“Of course I think so. Aku jadi penasaran ingin lihat tampangnya. Mata coklatnya secoklat apa ya?”
“coklat sekali deh pokoknya. Cokelat mahal juga kalah,” ucapku bersemangat. Sejujurnya, aku tidak pernah terlalu memikirkan secoklat apakah mata Kyuhyun, tetapi kelihatannya penggambaranku barusan cukup mengena. Sulli tertawa mendengarnya. “eonie, sepertinya dia suka deh sama eonie.’’
Kata-kata Sulli menyadarkanku akan perasaanku sendiri, tetapi aku tetap belum berani menerimanya sebagai suatu kenyataan.
“Ah, masa. Dia hanya baik saja kok,” balasku salah tingkah.
“Menurutku malahan kelewat baik. Mana ada sih orang zaman sekarang yang mau berhenti di pinggir tol untuk membantu orang?”
“Kalau di D.C. sih nggak mungkin, tetapi di sini masih banyak kok orang yang
mau membantu orang lain. “Aku memberi penjelasan bahwa memang budaya di kota besar akan sedikit berbeda dengan di kota kecil.
“Tetap saja aneh. Dari cara dia omong ketika bertemu eonie kayaknya dia berhenti bukan karena memang berniat membantu siapa saja, tetapi karena orang yang bakal dia bantu itu eon.”
“Jangan bikin aku ge-er deh” omelku. Sulli tertawa tergelak. “Sayangnya ya, eonie tidak sempat minta nomor teleponnya. kan setidak-tidaknya eonie bisa telepon dia.”
“Doakan eonie supaya bisa bertemu dia lagi. Mudah-mudahan kali itu aku Tidak lupa minta nomor teleponnya. Eh, tetapi… bagaimana mintanya ya?” Meskipun aku cukup berpengalaman dengan laki-laki sebelum aku bertemu dengan Changmin, selalu merekalah yang meminta nomor teleponku terlebih dahulu sehingga aku tidak memiliki pengalaman melakukan sebaliknya.
“Ya, bilang saja eonie minta nomor telepon dia. Beres, kan.” Sulli terdengar tidak sabaran.
“Memang kau pernah minta nomor telepon laki laki?” Aku tahu jawaban pertanyaan ini, tetapi aku hanya ingin menggoda adikku. Sulli tipe perempuan yang supergengsi untuk minta nomor telepon dari laki-laki mana pun.
“Apa maksud eonie tanya begitu?” Sulli terdengar tersinggung, tetapi aku tahu dia paham aku hanya bercanda.
“Ya, tidak ada apa-apa, hanya tanya saja,” balasku pura-pura cuek. Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan, kemudian kudengar suara Sulli berteriak, “Be there in a sec.” Lalu Sulli berkata padaku, “eonie, sudah dulu ya ngobrolnya. Aku sudah dijemput nih sama teman.”
“Kamu mau ke mana?” tanyaku ingin tahu.
“Biasa… ke library, mau research.” Cara Sulli mengatakan kata library dan researchterkesan dia akan melakukan hal yang akan membawa kebahagiaan baginya. Aku tertawa pada diriku sendiri, menertawakan adikku yang kutu buku itu.
“Well, have fun,” ucapku memberinya semangat.
“I will. Oh… ya, omong-omong jangan lupa minta nomor telepon Kyuhyun kalau
bertemu dia lagi, oke.” Sebelum aku menjawab, Sulli sudah menutup teleponnya. “Oke,” ucapku pelan
TBC
