Title : Blind date? part 4
Author resmi : AliaZalea
Pembaharuan oleh : Kyuyoung1398
Main Cast : choi sooyoung, cho kyuhyun, choi sulli
Other cast : shim changmin
Length : series
Genre : romance
Dislaimer : karya ini hasil pemikiran dan novel dari kak AliaZalea. Aku hanya mengganti castnya dengan kyuyoung. Semua alur, latar, setting murni dari novel kak AliaZalea. Mungkin ada beberapa bagian yang sengaja aku cut dan di edit untuk mempersingkat jalannya cerita. Bagi yang masih bingung kenapa ada nama orang luar negrinya, pemerannya ga bakalan aku ganti jadi semua masih tetap seperti aslinya.
Note : Keep support juga buat kak AliaZalea buat bikin novel baru XD
Happy reading ~
Keesokan paginya, aku terbangun karena terkejut. Aku harus menenangkan diri selama beberapa menit, kemudian duduk di atas tempat tidur. Matahari sudah masuk dari jendela kamar, yang tirainya kubiarkan tidak tertutup tadi malam. Kulirik jam yang ada di telepon selularku. Sembilan lewat lima pagi. Aku baru tidur kurang dari lima jam.“mimpi yang aneh” gerutuku, lalu beranjak berdiri. Aku berjalan menuju kamar mandi tanpa memperhatikan langkahku, dan akhirnya menabrak keranjang pakaian
kotor yang terletak di samping pintu. Kata-kata sumpah serapah keluar dari mulutku. Sambil menahan sakit, aku terpaksa meloncat dengan satu kaki memasuki kamar mandi. Kucuci mukaku dengan kasar lalu duduk di atas toilet memeriksa keadaan jempol kakiku. Bagian yang tadi tertabrak keranjang terlihat sedikit memar, tetapi tidak mengeluarkan darah. Setelah rasa sakit agak reda aku pun berdiri, langsung menjuju kaca. Kini aku berhadapan dengan wajah yang kelihatan stres. Ada lingkaran hitam di bawah mata dan kulitku terlihat kusam. Kuseka mukaku dengan handuk, kemudian berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan. Aku malas masak sehingga hanya mengeluarkan susu dari dalam lemari es dan menarik kotak sereal dari atas lemari es.
Aku mencoba mengingat kembali mimpiku. Aku sedang berlari sekuat tenaga karena ada seseorang yang sedang mengejarku, tetapi aku tidak bisa melihat wajah orang itu. Kusadari kemudian, di hadapanku ada bukit yang cukup terjal. Aku yakin, aku tidak akan bisa mengalahkan orang yang sedang mengejarku jika aku menaiki bukit itu, tetapi aku tidak punya pilihan lain. Aku menoleh ke belakang dan melihat orang yang mengejarku sudah semakin dekat ketika tiba-tiba aku terjatuh karena telah menabrak sebuah dinding, sesuatu yang tidak mungkin karena di bukit tentu tidak ada dinding. Ketika aku melihat penyebab mengapa aku jatuh, aku baru sadar ternyata aku bukan menabrak dinding melainkan seseorang bertubuh tinggi tegap dan dada bidang. Ia sedang menatapku dari balik mata coklat pekatnya. Aku berkata, “Kyuhyun, kau harus membantuku. Ada yang mengejarku dan aku tidak tahu itu siapa.”kyuhyun di dalam mimpiku awalnya hanya menatapku bingung, tetapi kemudian dia berkata ‘’tidak usah khawatir, aku bisa urus dia.”
“Oh… ya, bagaimana caranya?”
Kyuhyun kemudian mengangkat tubuhku, dan memanggulku. Tahu-tahu aku sudah berhadapan dengan bokongnya, yang mengenakan celana ketat berwarna biru.
“Kyuhyun, kau mau apa sih?!” teriakku panik.
“Aku harus bawa kamu melewati garis 10-yard untuk touchdown.” jawabnya santai, dan mulai berlari menuruni bukit.Touchdown? Memangnya aku ini bola? Kami bahkan tidak sedang berada di
lapangan football. Tiba-tiba suasana berubah, dan aku ada di lapangan football milik University of
Florida, yang dikelilingi oleh lautan orang dengan baju berwarna biru dan oranye,warna khas “The Gators”. Kulihat ada beberapa orang dengan kaus football dan celana ketat biru sedang mengejarku, atau lebih tepatnya mengejar kyuhyun yang sedang memanggulku. Salah seorang di antara mereka adalah Changmin, tetapi dia masih mengenakan kostum Zorro walaupun tanpa topeng. Changmin berteriak, “Mau ke mana sooyoung?! Mau lari?! Kau tidak bisa lari dariku!” . Aku berteriak kepada Kyuhyun, memintanya berlari lebih cepat dan menjauhkanku dari changmin. Kyuhyun menjawab teriakanku. “Aku sedang berusaha sekuat tenaga, kau harus membantuku!”
“Bagaimana caranya?”
“Aku akan menurunkanmu, kau harus lari berbarengan denganku, oke?”
“Oke,” balasku.
“Aku hitung sampai tiga. Begitu aku bilang tiga kau harus lari dengan kencang.”
“Oke.”
“Satu… dua… tiga.” Kyuhyun menurunkanku, dan aku berlari sekuat tenaga di sampingnya menuju garis 10-yard. Tangannya menggenggam tanganku. Anehnya, bukan semakin dekat, garis itu terlihat semakin menjauh.
“kyu, aku tidak bisa lari lagi.” Lariku mulai berkurang kecepatannya.
“Kau harus bisa. Kau harus mencobanya” bujuk Kyuhyun. Dia tersenyum kepadaku. Aku sudah siap melebarkan langkahku ketika tiba-tiba ada yang menarikku.
“Kyu… Hyunnnnnn…!” teriakku. Tanganku mencoba menggapainya, tetapi tidak mendapatkan apa pun kecuali udara kosong. Kemudian aku terbangun. Sekali lagi aku menggerutu, “mimpi yang aneh.” Mimpi itu betul-betul tidak masuk akal. Aku bahkan tidak tahu-menahu tentang permainan football atau warna
seragam masing-masing universitas. Aku kebetulan saja mengenali seragam University of Florida karena sempat melihat pertandingan mereka di TV melawan University of Alabama beberapa waktu yang lalu. Kalau dipikir-pikir mimpi itu bahkan tidak ada hubungannya dengan kejadian tadi malam. Aneh. Lebih anehnya lagi, dalam mimpiku Kyuhyun dan Changmin berbicara dalam bahasa arab, padahal jelas-jelas mereka tidak paham atau tidak tahu apa-apa tentang bahasa itu. Jangan-jangan aku sudah gila. Aku tahu sumber kegilaanku ini tidak lain dan tidak bukan berasal dari laki-laki bejat bernama changmin, yang menolak menerima kenyataan aku sudah tidak menginginkannya sama sekali. Entah dia
dapat ide dari mana untuk meyakinkan dirinya bahwa aku masih mencintainya. Ingin rasanya aku membunuhnya tadi malam.
hangminki bejat bernama Brandonbuat bikin novel baru lagi ya kak erannya ga bakalan aku ganti jadi semua masih tetap seperti as* * *
Kemarin malam, setelah aku beranjak dari sisi kyuhyun, aku menarik napas dalam dalam. Lalu aku berbalik menghadapi changmin untuk yang kedua kalinya malam itu. Aku harus membuatnya mengerti bahwa aku tidak lagi mencintainya, dan aku ingin dia meninggalkanku supaya aku bisa menjalankan hidupku dengan damai. Kuhentikan langkahku agak jauh dari changmin. “Bagaimana keadaan bibirmu?” tanyaku dari tempatku berdiri. Aku berusaha sebisa mungkin tidak menghampiri changmin pada saat itu juga untuk mengurus lukanya. Meskipun aku masih peduli padanya, aku tidak mau memberinya sinyal yang salah. Dia sudah bukan lagi pacarku, dia sudah bukan tanggung jawabku lagi.
“Sudah tidak berdarah lagi sih.” ucap changmin. “Aku masih tidak percaya kau menendangku.”
“Kau memang pantas ditendang,” balasku, sambil menatapnya serius. Melihat reaksiku, changmin hanya terdiam.
“Laki-laki itu siapa sih?” tanyanya. Semula aku ingin berpura-pura tidak memahami siapa yang changmin maksud, tetapi aku sedang malas main tebak-tebakan malam ini.
“Teman,” balasku pendek. Pikiranku kembali kepada laki-laki bermata coklat itu, yang tampaknya telah menjadi lebih dari sekadar teman. Laki-laki itu sudah menjadi malaikat penyelamatku, yang akan muncul tiba-tiba tanpa aku minta bila aku sedang membutuhkannya.
‘’jadi, temanmu itu harus belajar tidak mencampuri urusan orang lain.” changmin menggerutu sambil menatapku dengan memicingkan matanya.
”aku setuju” balasku, meskipun dalam hati aku tidak setuju sama sekali. Aku tidak keberatan bertemu dengan kyuhyun lagi. Kalaupun itu berarti aku harus berada dalam keadaan darurat lagi, aku tetap rela.
Aku memaksa pikiranku kembali kepada Changmin. Aku terdiam sesaat memikirkan apa yang akan aku katakan selanjutnya. “Aku ingin kau mengerti, aku tidak mau kejadian barusan terulang lagi. Kau paham, kan?” changmin menggeleng. Aku menarik napas putus asa. Keras kepala sekali laki laki ini. Aku baru saja akan mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba kata-kata meluncur dari mulut Changmin. Aku langsung diam mendengarkannya.
“Aku minta maaf soal kejadian barusan. Percaya atau tidak, rencanaku malam ini sebetulnya hanya ingin bicara denganmu dan minta maaf. Begitu aku melihatmu, rasa kangenku terhadapmu selama beberapa bulan ini seolah terobati. Hidupku berantakan tanpamu soo.” Mendengar pengakuan changmin , hatiku sedikit luluh. Setidak-tidaknya kini aku tahu dia lebih membutuhkanku daripada aku membutuhkannya.
Perlahan-lahan aku berjalan mendekatinya. “Aku ingin kau tahu, aku sudah memaafkanmu. Aku bahkan sudah tidak pernah memikirkan kejadian dulu itu lagi.” Untuk pertam akalinya aku menyadari ternyata aku memang sudah memaafkan changmin atas perbuatannya. Mungkin itu sebabnya mengapa aku sudah bisa melanjutkan hidupku.
“Oh ya? Kau bersedia memaafkanku setelah aku menyakitimu seperti itu?” changmin terlihat betul-betul terkejut. Aku tertawa melihat ekspresinya. Kuhentikan langkahku sekitar satu meter
darinya, kemudian mengangguk. “Hanya saja, rasanya aku tidak akan pernah bisa lupa sama sekali kejadian dulu itu. Jarang-jarang kan perempuan bisa memergoki pacarnya sedang making love dengan selingkuhannya, padahal dia bilang sedang lembur.” Suasana hening selama beberapa detik. “Kalau aku memohon, mencium kakimu, dan berjanji tidak pernah mengulang perbuatanku lagi, apakah kau mau
menerimaku lagi?” tanya changmin, dengan wajah penuh harap.
“Kau serius?”
“Superserius,” jawab changmin, dengan penuh keyakinan.
“tidak” jawabku pendek.
“Mengapa?” Wajah changmin terlihat kecewa.
Aku menggigit bibir bawahku,bingung. Ini adalah kebiasaanku dan Sulli apabila kami berdua merasa tidak nyaman.
“Kau tahu kan kita tidak pernah benar-benar cocok satu sama lain.” Kumulai penjelasanku.
“kau emang cukup untukku. Kau memang pintar, sukses, dan ganteng. Semakin kau sukses, kau…butuh peningkatan. keperluanmu itu tidak bisa aku penuhi, setidak-tidaknya bukan sekarang.”
changmin tidak berkata-kata, tetapi dari wajahnya kelihatannya dia memahami ketika aku mengatakan kata “perlu”, yang kumaksudkan adalah “keperluan sex”. Kuangkat kepalaku ketika melihat banyak orang lalu-lalang di lobi hotel. Kulirik jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 24.30. Tampaknya pesta Halloween sudah selesai karena aku melihat beberapa orang berjalan menuju
pelataran parkir. Mengingat aku tidak ingin terlihat bersama changmin oleh orang kantorku, aku
berkata, “Kau sebaiknya pulang dan minta orang mengurus mukamu yang babak belur itu.”
Aku lalu berbalik badan dan berjalan menuju mobil. Aku tahu Kyuhyun sudah menghilang. Dalam hati aku menyumpah. Meskipun memang aku berkata bahwa aku bisa mengatasi changmin sendiri, aku berharap dia tidak mendengarkan katakataku dan tetap menungguku.
“Jadi, itu saja jawabanmu? Kau akan meninggalkan aku begitu saja?!” teriak changmin.
Aku berputar balik, dan berjalan maju beberapa langkah. “Bukan aku yang meninggalkanmu, tetapi kau yang meninggalkanku. Ingat itu!” teriakku, lalu memutar tubuhku lagi dan berjalan menuju mobil.
“Kau tahu kan, kau tidak akan bisa hidup tanpaku. Aku hanya perlu menunggu sampai kau mau mengakui itu!” teriak changmin lagi. Dasar keras kepala sekali.
Kalimat terakhir yang diucapkan changmin telah mengubah pendapatku tentangnya, yang selama beberapa menit tadi merasa kasihan kepadanya. Ternyata dia masih juga laki-laki kurang ajar dan tidak tahu diuntung, yang aku tinggalkan lima bulan lalu. Dia tidak berhak menerima simpatiku sama sekali.
“kau perlu tumbuh besar lagi, changmin.” balasku, dan melambaikan tanganku tanpa menatapnya lagi. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa hidup, terus akan hidup dan bahkan lebih baik tanpanya.
* * *
Kulirik lagi jam, yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Aku lalu beranjak ke dapur untuk membuat makan siang. Setelah selesai makan siang, aku memeriksa telepon selularku untuk memastikan tidak ada sms atau telepon yang tidak terdengar olehku. Tidak ada pesan atau pangilan tak terjawab. Selanjutnya, aku menyalakan TV. Kuganti channel beberapa kali, mencari acara yang bisa menyita waktu dan
pikiranku untuk beberapa jam. Aku memilih film komedi romantis yang dibintangi Drew Barrymore, yang baru saja mulai. Aku lalu duduk menikmati film itu selama tiga jam. Ketika film itu berakhir, hari sudah gelap. Kunyalakan beberapa lampu di dalam apartemen. Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam sore.
“Kok dia belum telepon sih?!” akhirnya aku berteriak frustrasi. Aku agak terkejut dengan teriakanku karena pada saat itu aku baru menyadari alasan mengapa sepanjang hari ini aku merasa resah dan tidak bisa diam. Tanpa aku sadari, aku menunggu telepon dari Kyuhyun. Aku ingin mengetahui, berapa utangku untuk mengganti biaya dry cleaning sweater Armani-nya. Tolol, tolol, tolol! Aku mengomeli diriku sendiri. Tentu saja dia tidak akan meneleponku hari ini. Dia mungkin belum sempat membawa sweater itu untuk didryclean. Oleh sebab itu, dia belum bisa meneleponku untuk memberitahu jumlah
tagihannya. Muncul keragu-raguan di hatiku dia tidak akan meneleponku sama sekali, meskipun sweater itu sudah di-dry clean. Hal ini disebabkan karena dua alasan. Pertama, dia tidak menganggap kejadian tadi malam merupakan kesalahanku. Oleh karena itu, aku tidak bertanggung jawab atas sweater itu. Kedua, dia tidak mau berhubungan denganku dan mantan pacarku yang sinting. Rasanya alasan kedua lebih masuk akal.
* * *
Satu bulan pun berlalu, dan Natal akan tiba dua minggu lagi. Aku sudah berkencan dengan delapan laki-laki dalam kurun waktu itu, dan tidak satu pun dari mereka yang mampu menarik perhatianku. Baru belakangan aku menyadari alasannya, ternyata karena aku membandingkan mereka semua dengan Kyuhyun. Laki-laki yang ini terlalu pendek, yang itu terlalu tinggi. Laki-laki ini matanya memang coklat, tetapi tidak secoklat kyuhyun. Laki-laki itu aromanya mirip dengan kyuhyun, tetapi tidak betulbetul
sama. Laki-laki ini rambutnya cokelat dan mirip dengan kyuhyun, tetapi rambut kyuhyun lebih mengilat dan sedikit merah kalau terkena sinar. Laki-laki itu suaranya mirip kyuhyun, tetapi jelas-jelas wajahnya jauh sekali dari kyuhyun … dan berlanjutlah semua alasanku untuk menemukan kesalahan pada setiap date-ku. Lebih parahnya lagi, aku selalu menahan napas setiap kali melihat ada Volvo SUV berwarna perak. Aku betul-betul sudah terobsesi oleh Kyuhyun.
Aku tidak tahu bagaimana Sandra masih bisa terdengar ceria setiap kali meneleponku untuk menanyakan tentang kencanku dengan laki-laki, yang telah dicarikan MBD untukku. Apakah dia tidak bosan mendengar komentarku, “Ya, dia memang baik, tetapi sepertinyaa dia bukan laki-laki yang tepat untukku”? Mau tidak mau aku harus mengakui kekagumanku terhadap Sandra dan semua staff
MBD, yang pantang menyerah mencarikan laki-laki yang tepat untukku. Di dalam hati kecilku aku tahu, laki-laki yang tepat untukku adalah laki-laki keturunan korea yang tinggal di amerika berbadan tinggi besar, bermata coklat, memiliki aroma yang membuatku tergila-gila, dan mobilnya Volvo SUV berwarna perak. Laki-laki yang seakan-akan menghilang dari permukaan bumi sebulan yang lalu.
Selama dua minggu pertama aku masih mengharapkan telepon darinya. Terkadang aku duduk menatap telepon selularku, dan berharap benda itu berdering. Tanpa sadar sering aku bergumam, “Ring… ring… ring… ayo bunyilah !.” Ketika telepon itu tidak berdering juga aku memaki-makinya, “Dasar telepon bodoh, bunyi saja tidak bisa.” Untungnya kegilaanku dapat teratasi setelah Sulli datang mengunjungiku
dengan membawa pacarnya bernama Vincent, yang terlihat seperti seorang kutu buku pada umumnya. Sulli biasanya leibh menyukai laki-laki yang gaul untukmengimbangi gen kutu bukunya itu. Oleh sebab itu, aku sedikit terkejut ketika melihat Vincent. Hanya satu jam bersama Vincent dan sulli, aku langsung tahu perasaan Vincent terhadap adikku lebih dalam dibandingkan perasaan adikku terhadap laki-laki itu. Vincent selalu menatap Sulli bagaikan dia berlian paling berharga. Vincent hanya tinggal selama seminggu, kemudian dia kembali ke D.C. Aku pun mulai menginterogasi adikku.
“Kau dan Vincent serius?” tanyaku, sambil menyiapkan makan malam untuk kami berdua. Sulli, yang sedang menyiapkan salad, menjawab, “Mmmhhh… belum tahu juga sih, memang ada apa?”
“tidak. Kayaknya dia sudah cinta mati deh.’’ Aku membalik dua daging sapi sirloin seperempat kilo yang ada di atas panggangan. Adikku berhenti menuangkan bumbu salad ke dalam mangkuk dan menatapku.
“Kok eonie bilang begitu?”
“Dia terus-menerus menatapmu seperti kau ini matahari dia.” Kuangkat sepotong daging yang sudah setengah matang. Sulli tertawa mendengar komentarku dan meneruskan membuat salad sambil menyanyikan lirik lagu Nelly Furtado, yang bergema dari speaker stereo.
“ngomong ngomong, aku sudah lama tidak dengar kabar tentang Kyuhyun. eonie masih belum bertemu lagi dengan dia?” tanya sulli tiba-tiba. Aduhhh… mengapa… oh… mengapa arah pembicaraan kami jadi ke situ? Sudah selama dua minggu ini aku cukup berhasil mengusir Kyuhyun dari pikiranku.
“aku harap dia baik baik saja. Aku belum bertemu dia lagi.” ucapku pelan. Aku mengangkat steak dari panggangan, kemudian meletakkannya di atas piring. Sulli sudah duduk di kursi makan dan menungguku. Dengan mulut penuh dia berkata, “Menurut eonie… dia mengapa timbul… tenggelam begitu, ya?” Kata-kata Sulli terputus-putus karena dia mencoba berbicara sambil mengunyah.
“Telan dulu daging di mulutmu baru bicara, bisakan?” pintaku
* * *
Hari Natal pun tiba, berarti aku sudah resmi berumur 25 tahun. Orangtuaku meneleponku pukul enam pagi, mereka memberi ucapan selamat sambil menyanyikan lagu “Saengil chukkae” untukku. Ini tradisi yang telah kami lakukan sejak aku SD. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku dan Sulli beranjak ke
luar rumah. Kami memutuskan merayakan ulang tahunku di salah satu restoran Jepang yang ada di Winston, dan makan sushi sebanyak-banyaknya. Pelayan di restoran ini sudah cukup mengenalku, dan mempersilakan kami duduk di meja favoritku di tengah ruangan. Restoran terlihat cukup padat dengan orang-orang yang baru pulang dari menghadiri misa pagi di gereja. Kulihat meja terbesar restoran itu, yang terletak di pinggir ruangan, sudah terisi oleh satu keluarga besar. Sepasang halmoni dan haraboji,
dengan rambut yang sudah hampir putih semua, tampaknya adalah orangtua mereka. Seorang wanita berambut cokelat gelap sepunggung sedang memasukkan sepotong sushi ke dalam mulut anak kecil, yang duduk di sampingnya. Di depan mereka ada dua orang lagi duduk membelakangiku. Salah seorang dari mereka berambut pirang, dan selebihnya berambut cokelat gelap. Dari raut wajah dan suara-suara mereka yang berbicara satu sama lain, tampaknya mereka sedang membahas topik tentang American footballdan betapa seksinya Paris Hilton. Tiba-tiba salah seorang laki-laki di antara mereka berdiri, dan aku langsung bertatapan dengan wajah malaikat pelindungku. Aku harus mengedipkan mataku berkali-kali untuk memastikan aku tidak sedang berhalusinasi. Aku benar-benar
tidak sedang bermimpi karena wajah itu kini sedang tersenyum lebar ke arahku.
“Sooyoung!” teriak Kyuhyun. Dia betul-betul terlihat gembira bertemu denganku.
“kyuhyun.” balasku, masih dengan suara agak tersedak. Dia kemudian maju beberapa langkah dengan penuh semangat, sebelum berhenti persis di depanku dan kelihatan ragu. Aku baru sadar percakapan seru yang tadi terdengar di meja mereka kini sunyi. enam pasang mata, sedang menatapku penuh rasa ingin tahu.
“kau sudah makan?” tanyanya akhirnya, setelah beberapa detik hanya menatapku sambil mengerutkan kening.
“belum” jawabku. Kulihat Sulli berdiri di sampingku dengan tatapan penuh arti.
“kenapa tidak ikut bergabung dengan kami?” Kyuhyun terdengar antusias. Kulihat Kyuhyun mengangguk pada Sulli. Sebelum aku bisa menolak, kulihat satu laki-laki yang tadi duduk bersamanya melambaikan tangan kepada waiter untuk meminta ekstra kursi. Hanya dalam hitungan detik, meja mereka semakin padat dengan dua kursi tambahan. Tampaknya aku tidak memiliki pilihan, selain menerima tawaran itu.
Aku duduk bersebelahan dengan Kyuhyun, sedangkan Sulli duduk di sebelahku. satu laki-laki, yang tadi duduk di kursi yang sekarang kami duduki, sudah menyingkir ke kedua ujung meja. Aku dan Sulli lalu memesan makanan dan minuman kami. Kini seenam pasang mata kembali menatapku dan Sulli, tetapi aku sadar bahwa fokus tatapan mereka adalah aku. Situasi ini sangat membuatku tidak nyaman, apalagi aku menyadari aku duduk terlalu dekat dengan Kyuhyun sehingga bahu kami hampir bersentuhan. Bagaimana mungkin aku bisa menerima tawaran duduk dan makan siang dengan orang-orang tidak aku kenal ini? Oh, ya… aku lupa… aku tergila-gila kepada laki-laki yang duduk di sebelahku, yang kini
tampaknya sedang mengirimkan aliran listrik kepadaku setiap beberapa detik.
Zzzzzzttt… zzzzttttttt…. zzzzttttt….
“Hei, kami dikenalkan dong. Apakah kau terlalu malu mengakui kami semua sebagai keluargamu?” Wanita yang tadi sedang menyuapi anaknya berkata sambil melemparkan senyumnya kepadaku.
Kyuhyun memberikan tatapan gemas kepadanya sebelum menjawab, “sooyoung, ini keluargaku. Appa dan eommaku,” ucapnya sambil menunjuk kepada sepasang manula yang sedang tersenyum ramah kepadaku.
‘’ bisa bahasa korea, sayang?’’ ucap eomma kyuhyun
‘’ya.’’ Ucapku sambil tersenyum. Kyuhyun melanjutkan aksi memperkenalkan keluarganya padaku dan Sulli.
“kakakku, Ahra Cho.” ia menunjuk wanita berambut sepunggung, yang mengangguk. “suami kakakku, Jin Lee ” sambil menunjuk kepada laki-laki berambut pirang yang duduk di sebelah Sulli.
“bangapseumnida. aku Sooyoung Choi, ini adikku Sulli Choi. Ucapku memperkenalkan diri. Aku tidak menatap Sulli ketika sedang memperkenalkan diri karena dari sudut mataku aku bisa melihat wajahnya tampak sangat terhibur. Rasanya aku harus mempersiapkan diri diinterogasi Sulli setibanya di apartemen nanti. Ini tentu saja bukan prospek yang aku tunggu-tunggu. Ketika makanan kami tiba, aku menyempatkan diri memperhatikan sekelilingku. Kulihat wajah semua anggota keluarga Kyuhyun jauh di atas rata-rata, bahkan bisa dibilang wajah Kyuhyun paling biasa saja dibandingkan mereka semua.
Untungnya mereka sedang sibuk dengan percakapan atau makanan masing-masing sehingga memberikanku waktu beberapa menit untuk bernapas.
“Bagaimana kabarmu? Maksudku sejak terakhir kali kita bertemu,” Tanya Kyuhyun pelan.
“aku baik-baik saja,” jawabku pendek, sambil memasukkan sebagian California roll ke dalam mulutku.
“Apakah Changmin masih suka mengganggumu setelah malam itu?” lanjut Kyuhyun, masih dengan suara pelan. Mau tidak mau aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Ternyata dia masih
betul-betul ingat kepadaku.
“Tidak, dia sudah gak pernah menggangguku lagi,” jawabku.
“Baguslah. Aku agak khawatir soal itu.” lanjutnya, kemudian kembali pada makan siangnya, meninggalkanku dengan mulut agak menganga dan hati berbunga-bunga. Dia mengkhawatirkanku? Aku ada di pikirannya?
“Hidungmu bagaimana?” lanjutku. Kyuhyun menyentuh hidungnya sedikit, dan berkata, “Baik-baik saja,” sambil kemudian tersenyum lebar.
“Kau kenal adikku di mana?” Tanya kakak kyuhyun tiba-tiba.
“Bagaimana kalau kita biarkan mereka makan dulu sebelum kau interogasi.” Ibu Kyuhyun menolongku. Aku memandangnya dengan tatapan penuh terima kasih.
“Makananmu bagaimana?” tanya Kyuhyun dengan suara pelan sehingga hanya aku yang bisa mendengarnya.
“enak” jawabku, sambil memasukkan unagi terakhir ke dalam mulutku. Setelah menelan dan meminum teh hijau seteguk, aku memberanikan diri menanyakan pertanyaan yang sudah berputar-putar di kepalaku selama satu jam terakhir.
“Berapa utangku untuk biaya dry cleaning?” Sebenarnya, yang ingin aku tanyakan adalah “Kenapa kau belum teleponku?” Kyuhyun menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatapku bingung.
“Untuk sweatermu.” lanjutku. Kyuhyun masih menatapku bingung. Aku terpaksa menambahkan, “Sweatermu yang supermahal, yang kena darah itu lho?”
“Oh… sweater itu.aku sudah bilang padamu tidak usah khwatir. Kalau tidak salah, sweater itu
sudah aku kirim ke Goodwill. Aku bahkan tidak ingat.”
“Kau memberikan sweater Armani ke Goodwill?” Nadaku meninggi karena terkejut. Untung saja Jin sedang ke toilet sehingga dia tidak mendengar ucapanku. Orang tolol mana yang akan menyumbangkan sweater Armani-nya ke organisasi yang menerima sumbangan pakaian. Walaupun sweater itu sudah terkena darah, tetap saja itu sweater Armani.
“Sweater itu sudah tua. Lagi pula, bahannya bikin aku gatal. Hari itu aku pakai karena kehabisan pakaian.”
“Oh,” ucapku ragu.
“Itu sweater cadangan yang aku simpan di mobil, buat jaga-jaga saja kalau perlu,” jelas Kyuhyun lagi.
Aku mengangguk menerima penjelasannya itu, meskipun aku tetap bingung bagaimana mungkin seseorang bisa memiliki sweater Armani dan tidak mengenakannya sesering mungkin.
“jadi, asal kamu dari mana sayang?” tanya ibu Kyuhyun kepadaku. Kulihat ayahnya juga sedang menatapku ingin tahu.
“Saya dari Busan” jawabku sopan.
Dari sudut mataku kulihat Jin Lee baru kembali dari toilet, kemudian aku melihat kakak Kyuhyun berdiri sambil menggendong JinSoo yang sudah tertidur. “kami harus pergi. Kami mau menghindari macet ke Atlanta,” ucap kakak kyuhyun
“eoniemu tidak tinggal di Winston?” tanyaku kepada Kyuhyun.
“tidak ada dari kami yang tinggal di sini. Hanya orangtuaku saja,” jawab Kyuhyun. Sebetulnya, aku ingin menanyakan di mana Kyuhyun tinggal ketika Jin menepuk bahu Kyuhyun.
“Nice seeing you again, Big Man.’’ ucap jin. Di sudut lain kulihat neuna kyuhyun sedang memeluk dan mencium kedua orangtuanya.
“janji ya untuk menelpon sesering mungkin,kau tidak punya cukup waktu untuk bertemu keluarga” ucap eomma Kyuhyun, sambil memegang wajah Ahra di antara kedua telapak tangannya. Sulli tiba tiba menarik tanganku dan menanyakan tentang tagihan makanan kami. Aku mencoba menarik perhatian salah seorang pelayan untuk menanyakan bon makanan kami. Kyuhyun, yang melihatku sedang melambaikan tangan, kemudian bertanya, “Kau perlu sesuatu?”
“Aku ingin minta tagihan makananku. ” balasku, sambil tetap melambaikan
tangan kepada pelayan. Kyuhyun menarik tanganku turun, dan tidak melepaskan genggamannya. “Kau
tidak usah khawatir soal itu. Jin sudah membayar semuanya.” ucapnya.
“Jin?” tanyaku terkejut. Kyuhyun mengangguk. “Kalau begitu, sebaiknya aku tanya ke dia berapa utangku.” ucapku, dan siap beranjak menuju Jin, yang sedang mengangkat Jinsoo dari pelukan istrinya. Kyuhyun menarik tanganku yang masih digenggamnya.
“jangan khawatir.” Kyuhyun menatapku tajam.
“Kau yakin?” tanyaku ragu. Tiba-tiba Kyuhyun mengalihkan perhatiannya kepada seseorang di belakangku.
“Hei, Jin. Sooyoung bertanya padaku apakah kau keberatan membayari makan siangnya?” Aku rasanya ingin mencekik Kyuhyun pada saat itu juga. Mengapa dia harus menanyakan secara langsung begitu kepada Jin sehingga membuatku terkesan terlalu perhitungan dengan uang? Aku memang sangat berhati-hati dengan uangku, tetapi aku tidak mau orang lain tahu tentang itu. Untungnya Jin hanya tertawa, dan Ahra menjawab, “Makan siang kami yang traktir.” Kemudian dia melangkah ke arahku dan memelukku sambil berkata, “MerryChristmas.aku sangat senang bertemu denganmu.” Aku tidak punya pilihan selain mengucapkan terima kasih, membalas pelukannya dan mengatakan hal yang sama. Ahra kemudian berputar untuk memeluk dan mencium semua anggota keluarganya, termasuk Sulli kemudian
melangkah ke luar restoran diikuti oleh Jin dan JinSoo. Jin melambaikan tangannya sebelum menghilang dari pandanganku. Aku pun berpamitan dengan Kyuhyun dan kedua orangtuanya. Meskipun Appa Kyuhyun hanya menyalami tanganku, eomma Kyuhyun memelukku dengan hangat dan antusias. Kami berjalan ke luar restoran bersama-sama dan berpisah di depan pintu.
Sulli berjalan tanpa suara di sampingku, tetapi aku tahu dia tidak sabar menunggu sampai kami ada di dalam mobil dan membahas semua kejadian siang ini. Aku dan Sulli masuk ke dalam mobil sebelum kuhidupkan mesin dan menyalakan pemanas. Dari kaca spion kulihat Kyuhyun berjalan menuju Mercedes berwarna hitam, diikuti oleh Appanya yang sedang menggandeng eommanya. Melihat
pasangan tua yang masih mesra itu aku teringat eomma dan appaku, yang juga selalu bergandengan tangan ke mana pun mereka pergi. Akhirnya, mereka masuk ke dalam mobil. Aku masih tetap menunggu karena mesin mobilku masih terlalu dingin. Sulli menekan tombol radio mobil untuk mencari siaran yang melantunkan lagu selain lagu-lagu Natal. Tiba-tiba telepon selularku berbunyi, Kulirik layar untuk mengetahui siapa yang meneleponku, tetapi di layar hanya tampil tulisan “private”. Sambil mengerutkan
kening kujawab telepon itu. Kulihat Sulli buru-buru mengecilkan volume radio, dan menatapku penuh tanda tanya karena melihat wajahku yang bingung.
“Hello,” ucapku ragu.
“Hei, apakah kamu berencana tidak segera meninggalkan tempat parkir itu?” Kudengar suara Kyuhyun dari ujung telepon. Aku sempat tersedak sebelum berkata, “Kyu?”
Kini Sulli menatapku dengan mata terbelalak.
“Ya?” jawab Kyuhyun, kemudian ia tertawa. “kau tidak berniat untuk pulang?”
“Memang ada apa?” Aku masih tidak bisa menebak alasan mengapa dia meneleponku dan menanyakan hal itu.
“eommaku tidak membolehkan aku pergi sampai dia melihatmu dan adikmu sudah dalam perjalanan pulang dengan aman.” Suara Kyuhyun terdengar sedang mencoba menahan tawa. Kemudian kudengar bunyi sesuatu dan suara perempuan yang agak teredam, seperti ada tangan yang menutupi speaker telepon Kyuhyun. Kudengar suara Kyuhyun lagi, “eommaku bilang dia sangat senang bertemu denganmu dan adikmu. Dia berharap bisa bertemu kembali .” Kini nada Kyuhyun terdengar sedikit
terpaksa. Aku berusaha tidak menelaah setiap perkataan yang diucapkan Kyuhyun kepadaku, dan berkata, “tolong bilang pada eomma-mu terima kasih. Aku juga senang bisa melihat eomma dan appamu.’’ ucapku
“Mereka bisa dengar, teleponnya on speaker. Kau lebih baik bergerak sekarang, soalnya ada mobil yang menunggu tempat parkirmu.” lanjut Kyuhyun. Aku melirik ke kaca spion untuk mengkonfirmasi apa yang Kyuhyun baru katakan. Kulihat ada sebuah Mustang warna hitam sedang menunggu. “Oke, bye,”
ucapku. Aku buru-buru menutup telepon selularku, kemudian memberikannya kepada Didi. Ia memasukkan telepon itu ke dalam tasku. Buru-buru kualihkan persneling mobil dari “P” ke “R”, dan mundur dari tempat parkir. Kubunyikan klakson satu kali sebelum meluncur ke Jalan Bethesda menuju arah Country Club, jalan di mana apartemenku berada.
***
Dalam perjalanan pulang menuju apartemen, Sulli tidak habis-habisnya memuji Kyuhyun dan keluarganya.
“Ya… ampun, eonie ! dia perfect banget buat eonie. Terang saja eonie suka banget sama Kyuhyun.dia baik. Aku pikir tipe laki-laki seperti dia sudah punah, ternyata aku salah. Eonie benar, matanya… Oh, my God… lebih coklat dari coklat mahal. Tidak adil banget deh, kok laki-laki bisa punya mata seseksi dia.”
“kok kayaknya kau lebih excited bertemu dia sih dibandingkan aku?” tanyaku, agak bingung melihat reaksi Sulli yang menggebu-gebu.
“Terang saja aku excited. Aku Tidak percaya eonie sudah membuang waktu tiga tahun hidup bersama Changmin, cowok sialan dan nggak tahu diri itu, kalau ternyata ada Kyuhyun di dunia ini. Aku yakin ini kismet.”
“Kismet?” tanyaku ragu. Sulli seakan-akan tidak mendengar atau tidak mau menghiraukan keraguanku,
dan melanjutkan usahanya meyakinkanku.
“Ya, kismet. Jodoh… jodoh…eonie dengan Kyuhyun tuh jodoh. Eonie lihat deh faktanya. Eonie bertemu dia setelah putus dari Kyuhyun, lalu eonie sudah bertemu dia berkali-kali setelah itu. Kayaknya memang Tuhan menunjuk dia untuk eonie.” Aku terpaksa tertawa mendengar penjelasan Sulli.
“Keluarga dia juga suka dengan eonie deh. ‘’ ucap Sulli. Aku terdiam sejenak
“jadi bagaimana?… setidak-tidaknya eonie sudah punya nomor teleponnya sekarang. Jadi, eonie bisa telepon dia.”
“telepon siapa ?” balasku bingung.
“Aduuuh… Sulli terdengar gemas. “Maksudku Kyuhyun. Dia tadi kan telepon eonie. Jadi, nomor teleponnya pasti tercatat kan di cell. Bagaimana kalaueonie telepon dan ajak dia makan di rumah Tahun Baru nanti?” katanya dalam satu tarikan napas. Aku harus menahan diri untuk tidak mengakui bahwa aku tidak bisa melakukannya karena nomor telepon Kyuhyun “private”. Didi melihat ekspresi
wajahku, “apa ?” tanyanya curiga. Aku menelan ludah sebelum menjawab, “Nomor telepon Kyuhyun “private”, aku gak bisa telepon dia balik.” Aku menunggu ledakan kemarahan Sulli sampai di telingaku.
Ternyata yang keluar dari mulut Sulli hanya, “Oh… ya tidak apa-apa. Aku lihat eonie tadi ngobrol dengan dia. pastinya eonie sempat minta nomor teleponnya dong. Kartu namanya kek… atau apa gitu.”
Aku memahami logika berpikir Sulli. Pada dasarnya untuk situasi lain mungkin hipotesisnya bisa berlaku, tetapi tidak untuk kali ini. Melihatku tidak juga menjawab, Sulli mengerlingkan matanya.
“eonie minta nomor telepon dia, kan?” Aku menggeleng.
“Kartu nama?” Aku menggeleng sekali lagi.
“Oh maaa… nnnn benar benar !” omel Sulli
* * *
Bulan Januari pun tiba, dan Sulli harus kembali ke Washington D.C. untuk melanjutkan risetnya. Aku kembali sendirian di Winston-Salem. Sandra dan timnya di MBD, yang dulu masih cukup optimis dapat menemukan pasangan ideal untukku dalam waktu kurang dari enam bulan kini mulai terdengar khawatir
karena aku belum juga menemukan satu date pun yang “HOT”, tetapi seperti biaya Sandra dan timnya tetap pantang menyerah. Kembali aku sudah mulai tenggelam dengan kencan-kencan butaku selanjutnya, yang selalu diakhiri dengan kekecewaan. Sejujurnya, semua date-ku yang tampaknya salah alamat ini mulai membuatku khawatir, apakah semua ini sebanding dengan uang dua ribu dolar yang telah kukeluarkan lima bulan yang lalu? Apakah pada akhir bulan keenam aku akan berakhir dengan tabungan yang sudah berkurang dua ribu dolar, kilometer mobil yang jebol karena semua perjalanan luar kota yang harus aku tempuh, setidak-tidaknya seminggu sekali untuk menemui date-ku, dan masih tanpa prospek suami?
Kalau saja Kyuhyun mau meneleponku, aku tidak akan mengalami kekhawatiran seperti ini. Sepanjang tanggal 25 Desember hingga 3 Januari, aku dan Sulli selalu melonjak dari kursi setiap kali mendengar telepon selularku berbunyi. Sulli akan menatapku penuh harap, dan kecewa ketika melihatku menggeleng sebagai tanda bahwa telepon itu bukan dari Kyuhyun. Sering kali wajah kecewa adikku itu
membuatku tertawa karena seolah-olah justru dia yang menaruh banyak harapan terhadap Kyuhyun. Sejujurnya, aku pun merasakan hal yang sama. Oleh karena itu, aku juga merasa kecewa karena Kyuhyun belum meneleponku lagi. Suatu malam, aku sedang mengganti-ganti channel TV ketika kutemukan acara yang membahas tentang Scott Peterson, suami pembunuh istri yang sedang hamil
besar agar bisa menikahi pacarnya. Acara itu membahas tentang beberapa indikasi yang bisa kita kenali pada orang yang selingkuh. Bagi wanita yang mungkin jadi selingkuhan seorang laki-laki tetapi tidak tahu-menahu soal itu, beberapa cirri kebiasaan laki-laki seperti itu bisa dikenali. Pertama, laki-laki itu akan datang dan pergi dengan tiba-tiba. Kedua, hidupnya terkesan misterius dan penuh rahasia.
Ketiga, laki-laki itu biasanya yang menghubungi kita, tetapi kita tidak bisa menghubungi dia.
Entah mengapa, pikiranku langsung tertuju kepada Kyuhyun dengan sifat timbultenggelamnya. Aku bertemu dengannya secara tiba-tiba di Fresh Market ketika dia menegurku untuk menanyakan bahan salad, padahal pada saat itu ada beberapa orang yang cukup berdekatan denganku yang bisa dia tanya. Seperti disulap dia muncul sebulan kemudian ketika aku mengalami masalah dengan mobilku, dan
tanpa diminta dia segera membantuku. Kemudian lagi-lagi seperti dia telah menguntitku, Kyuyun menolongku di pelataran parkir Embassy Suites. Kalau aku ini selingkuhannya, mengapa dia berani memperkenalkanku kepada keluarganya? jangan-jangan mereka bukan keluarganya betulan? Oh, my God! Apakah Kyuhyun seorang penjahat yang buron dan sedang dikejar polisi? Jadi, selama beberapa hari aku sama sekali tidak bersemangat melakukan apaapa. Ada kabut kesedihan dan kekecewaan yang menyelimutiku dengan tebal, membuatku sulit bernapas. Aku harus mengusir semua perasaan itu dan bersiapsiap untuk kencan selanjutnya dengan Marcus seorang computer programmer berusia
29 tahun. Dia berkulit putih dengan tinggi 180 sentimeter. Ketika mendengar deskripsi tentang dirinya, aku merasa agak ragu. Sebagai seorang computer programmer tentunya Marcus akan kelihatan seperti kutu buku dengan tubuh yang kurus kering kerontang, kulit yang pucat karena kurang terkena sinar
matahari, dan berkacamata tebal. Pokoknya, jauh sekali dari tipe laki-laki yang biasanya aku pacari.
Aku cukup penasaran terhadapnya karena Sandra mengatakan, “aku pikir, kandidat ini yang paling pas.” Mau tidak mau aku harus memberi kesempatan kepada diriku untuk mengenal Marcus karena siapa tahu ternyata memang ada kecocokan di antara kami berdua. Hari ini aku harus mengenakan jaket wol karena suhu di Winston mencapai 32 derajat Fahrenheit, yang berarti 0 derajat Celsius. Aku tidak pernah mengalami cuaca sedingin ini sejak aku meninggalkan Washington D.C. tiga tahun yang lalu.
Aku memasuki pelataran parkir restoran tepat pukul 12.45. Hari ini aku hanya bekerja setengah hari karena aku sudah bekerja overtime dari hari Senin sampai Kamis. Marcus bersedia menemuiku di Winston, hal yan gaku sangat syukuri karena aku tidak akan berani mengemudikan mobil ke luar kota dengan salju setebal ini. Untuk memastikan bahwa dandananku masih sempurna seperti ketika aku
meninggalkan rumah, kusempatkan mematut wajahku di kaca beberapa detik sebelum keluar dari mobil.
Dengan langkah sedikit canggung aku memasuki restoran dan langsung disambut Maitre restoran, yang berbicara dalam bahasa Prancis. Buru-buru kuinformasikan siapa diriku kepadanya dalam bahasa Inggris. Untungnya Maitre ditu kelihatan mengerti bahwa aku tidak bisa berbahasa Prancis sehingga dia melanjutkan percakapan dalam bahasa Inggris.
“oh akhirnya kau datang. Date-mu sudah menunggu.” ucapnya antusias. Aku terpaksa melirik jam tanganku untuk memastikan aku tidak terlambat. Jam tanganku menunjukkan pukul 12.55. Mmmhhh… kelihatannya date-ku ini tipe laki-laki yang memilih lebih baik datang lebih cepat daripada terlambat.
“lewat sini.” ucap Maitreitu lagi, dan mengantarkanku melewati beberapa meja yang sudah terisi.
Kami berjalan menuju meja yang terletak di samping jendela, di mana seorang laki-laki berambut cokelat sedang duduk menyandar pada kursi. Tubuhnya yang berkemeja biru terlihat santai. Aku sampai di meja yang sudah dipesan. Maitre itu menyapa date-ku, yang duduk membelakangiku dalam bahasa Prancis. Aku agak terkejut ketika mendengar suara date-ku, yang membalas sapaan itu dalam bahasa Prancis yang fasih. Pada detik itu aku merasa bahwa aku sedang berada di Paris daripada di Winston-Salem, North Carolina. Aku merasa sedikit kagum dan mulai penasaran dengan date-ku ini. Aku masih belum bisa melihat wajahnya, tetapi kemudian dia memutar tubuhnya dan berdiri. Seketika aku langsung seperti terkena serangan jantung.
“Hello, Sooyoung Choi” ucapnya, sambil tersenyum.
TBC
Ditunggu coment-annya ya J
