Choi Sooyoung & Cho Kyuhyun
| Romance | G Rated |
-
“Tidak masalah jika aku terluka untuk sehari dan setahun seperti ini
Bahkan jika hatiku terluka
Itu karena aku hanya mencintaimu”
It Has To Be You – SJ’s Yesung / SJ’s Kyuhyun
(Listen also : Let’s Not – SJ’s KRY )
[Disarankan banget denger dua lagu diatas]
—
Rintik hujan mulai berkumpul membuat genangan di depan langkahku. Aku mengeratkan mantel tebalku. Menghela nafas sedalam-dalamnya. Mengetatkan topiku hingga menutupi sampai batas alis mata, menunduk dan berjalan menghindari kerumunan oang yang berlalu-lalang untuk menuju gedung dihadapanku.
Aku baru bisa melepas topi saat terpaan angin dari Air Conditioner di ruangan ini menerpa kulit wajahku. Aku menggulung mantelku dan menyimpan topiku, memberikannya pada wanita yang berdiri dibelakang meja receptionist.
Melanjutkan langkah untuk 4 langkah kedepan, sebelum tepukan keras mampir dibahuku membuat aku menoleh.
“Tumben.” Godanya sambil memamerkan senyum lebar. Aku tersenyum tipis lalu melanjutkan langkahku yang tertunda. Anak itu mengikutiku.
“Pamitkan aku dulu ya, aku datang terlambat. Sampaikan pada member lain.” Aku memperhatikan Eunhyuk hyung yang berjalan menjauh menuju basemen gedung SM yang aku injak sekarang ini.
Ponselku bergetar, membuatku kembali menghentikan langkah. Aku membuka pesan yang baru masuk, menatapnya datar, lalu kembali berjalan menuju lift. Memasukinya saat pintu lift terbuka. Aku hampir menutup pintu lift sebelum seseorang menahan pintu itu dan menyalip masuk.
Seketika semerbak aroma susu dan bunga acetaldehyde samar-samar menusuk indra penciumanku. Aku menatap punggungnya yang membelakangiku. Ia terlihat tergesa, tidak menyadari keberadaanku. Rambut kucir kudanya bergerak lucu saat ia menggerakkan badannya dengan spontan. Ia menatap dinding lift lalu menekan tombol bertanda ’8′ disana. Aku menatapi pergerakannya dari belakang. Rambut coklat tuanya yang berada tepat dibawah daguku membuat aku merasa deja vu. Tiba-tiba aku merindukan saat dimana aku mengacak rambutnya sembari mengecup setiap sudut di kepalanya.
Aku menggerakkan kakiku selangkah kecil kedepan. Menatap punggungnya ragu. Dan dengan segenap keberanianku, aku mulai memasukkan jemariku di kesetiap sela sepuluh jari milik wanita ini. Hangat.
Ia tampak kaget. Saat ia baru akan berbalik, aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
“Jaljinae, Sooyoung-ah?” Lirihku. Kurasakan jemarinya meng-kaku. Aku menggerakkan tautan jemari kami kedepan perutnya.
“Apa.. Apa yang kau lakukan?” Ia terlihat bingung. Aku tersenyum tipis, mengelus punggung tangannya halus.
“Aku merindukanmu.” Gumamku sepelan mungkin. Sembari mencuri harum tubuhnya dengan menempelkan hidungku di bahunya yang terbuka.
Kami terdiam untuk beberapa detik. Hingga aku sadar akan diriku dengan melepaskan rangkulan dan genggamanku. Ia berbalik. Menatapku dengan pandangan lurus.
Aku mencoba memberinya senyum. Setulus yang aku bisa. Namun ia hanya tersenyum tipis dan membuang wajahnya, menganggap tidak terjadi hal apapun.
Untuk kesekian kalinya aku merasa seseorang datang dihadapanku lalu melayangkan belatinya tepat di ulu hatiku. Tapi kenyataannya tidak. Tidak terjadi apapun. Hanya ada kami berdua di kabin sebesar 2×2 meter ini. Dan tak ada seorangpun membawa belati.
Aku tersenyum lagi. Berjalan mendekat ke sampingnya.
“Apa kau baik-baik saja?” Aku berusaha memulai pembicaraan kami kembali. Menatapnya dengan penuh senyum pahit. Ia perlahan menoleh dan menatapku dengan mata bulatnya. Tepat di iris mataku. Dan aku tak bisa mengatakan berapa banyak kupu-kupu yang bermain diperutku saat ia membalas senyumanku.
“Seperti yang kau lihat.”
Tak ada suara setelah itu. Hingga alarm lift berbunyi ‘Ting!’ menandakan bahwa kami telah sampai di lantai tujuan. Ia bergegas meninggalkan lift, membuatku terdiam. Hingga pintu yang nyaris tertutup membuatku tersadar dan keluar. Aku memanjangkan leher, mencarinya. Sosok jangkung yang memenuhi tiap sudut pikiranku. Semuanya.
Aku menghela nafas lega saat melihat rambutnya berjalan kearah koridor latihan tempat kami latihan bersama. Dengan langkah cepat aku menyusulnya. Tepat sebelum ia membuka pintu ruangan latihan.
“Wae?” Tanyanya. Aku menghela nafas satu-satu. Memegang pergelangan tangannya dan menariknya lembut. Ia memberikan penolakan. Aku menatapnya kembali.
“Tidak lebih dari 5 menit, Sooyoung-ah.”
—
Aku tak mengerti dengan diriku sendiri. Mengajaknya dalam kebisuan tak berujung. Dengan dua cangkir teh hangat di meja depan kami. Ia membuang tatapannya ke samping, memilih menatap hiruk-pikuk kota Seoul dari ketinggian. Sementara aku hanya diam, menatapi wajahnya yang sudah lama tak aku temui.
“Kudengar beberapa minggu terakhir kau memiliki jadwal padat, ya?” Pancingku. Ia menyesap tehnya. Tersenyum tipis sebelum membenarkan pernyataanku.
Aku kembali menatapnya dalam diam. Berusaha membuatnya kembali menatapku. Dan berhasil.
Aku tak membuang-buang kesempatan.
“Neo, gwenchanayo?” Aku bertanya sehalus mungkin. Ia menatapku datar. Aku berusaha meraih jemarinya dengan halus. Meski tak kentara, aku mendapati penolakan dari gerakannya.
“Mianhae.” Tandasku. Aku menghela nafas.
“Tidak seharusnya dulu aku membentakmu, menghindarimu. Dan juga meninggalkanmu sendirian.”
Aku menghela nafas dalam. “Aku punya alasan untuk itu.”
“Sooyoung-ah..” Desahku. Ia menatapku setelah sebelumnya membuang jauh-jauh pandangannya dariku. Ia menatapku, tersenyum. Paling kubenci. Itu senyuman yang aku lihat saat kami terakhir kali bertemu. Senyum ‘perpisahan’ kami.
“Nae-”
“Satu kesempatan, Sooyoung-ah.” Ia tampak terhenyak. Menatapku sendu. Aku menatapnya penuh harap. Tanganku yang menggenggam jemarinya mendingin, rasa gugup menghujaniku. “Butakhae.” Pintaku.
Ia menunduk. Aku terus mengeratkan genggamanku, sembari melantunkan permohonan yang sama.
Dadaku berdegup kencang. Seketika kilasan memori bermain di pikiranku.
Disaat aku memaksanya untuk menjadi kekasihku. Memaksanya tidur menemaniku. Menyuruhnya membuatkanku masakan. Memaksanya bertahan saat rumor mengenai aku dan idol wanita lain berhembus. Dan menghindarinya saat giliran ia yang diterpa kabar burung seperti itu.
Aku menelan ludahku, pahit. Sesuatu yang sudah kusadari sedari dulu. Yaitu, yang kulakukan sedari dulu hanya menyakitinya. Aku memaksanya masuk ke kehidupanku dengan menyakitinya, dan kembali menyakitinya hingga ia keluar dari lingkup kehidupanku. Untuk beberapa alasan aku sadar bahwa aku pihak paling salah dihubungan kami yang sudah terjalin 3 tahun itu. Tapi itu semua kulakukan karena aku hanya mencintainya. Tidak ada yang lain.
Aku merasakan mataku memburam.
“Jjagiya.” Lirihku pelan. Ia tampak kaget dan matanya tampak membulat. Aku mengusap jemarinya perlahan.”Kembalilah. Kumohon.”
Tiba-tiba ia bergerak melepaskan jemarinya dari genggamanku. Membenarkan posisi tas selempang yang ia gunakan lalu berdiri setelah sebelumnya berdehem pelan. Ia membuang wajahnya kearah lain.
“A-aku..”
“Sooyoung-ah..”
“Geumanhae.”
Ia menatapku lurus. Entah mataku yang semakin memburam atau matanya memang tampak bening seperti berkaca-kaca. Ia tampak menghela nafas. Memberikan senyum samar kepadaku.
“Oppa, annyeong.”
Dan setelah itu aku tahu bahwa hidupku memang tak akan sama lagi. Ia berjalan menjauhiku. Hanya punggungnya yang tampak di mataku. Sedetik setelah keluar dari pintu cafe ini, kulihat bahunya bergetar.
Aku tersenyum kecut, kini aku memang benar-benar pecundang.
Dan pecundang itu kini hanya bisa menyesal dan menangisi kebodohannya.
‘Sayang, apa sekarang hanya ada aku yang mencintaimu?’
—
“Pengecut.”
KREK
Tepat saat aku membuang botol mineralku, suara tajam Donghae hyung menginterupsi telingaku.
Aku membalikkan badanku. Menatapnya datar. Ia hanya meminum colanya lalu kembali menatapku.
“Kau perlu berkaca.” Sindirnya. Aku hanya tersenyum kecut. Cukup sadar dengan rambut acak dan mata membengkak milikku pada saat ini. Aku kembali menatapnya yang masih menatapku dengan serius. Kami terdiam untuk beberapa saat. Saat aku mendapati tatapan Donghae hyung yang seakan menyuruhku berbicara, aku menghela nafas panjang.
“Hyung, aku dan dia, memang benar-benar berakhir.”
Ia masih menunggu kelanjutan bicaraku.
“Tadi aku sudah berbicara padanya. Dan, ya. Dia menolak untuk kembali.” Dengan cara yang menyakitkan.
Kulihat Donghae hyung berdehem lalu mendekatiku. Ia menepuk bahuku pelan.
“Aku yakin, untuk kedepan pasti akan ada waktu untuk kalian berdua.” Aku menatapnya bingung. Tumben sekali ia tidak memberiku masukan. Namun hanya bisa tersenyum lesu mendengar perkataannya.
“Mereka berkencan!”
Aku spontan menatap televisi yang terlihat dari minibar di dapur dorm kami.
Tiba-tiba aku merasa perasaan tidak enak menyelimutiku saat mendengar seruan member yang sedang menonton.
Sontak aku berjalan mendekati mereka. Ikut melihat apa yang mereka lihat.
Dan,
aku terhenyak.
Pandanganku tak bisa lepas dari layar itu. Tetap menatapi wajah yang sangat aku kenal disana. Tidak sendirian, tampak disandingkan dengan sebuah foto yang terasa familiar.
Dari sudut mataku, kulihat Donghae hyung menatapku. Ia kembali berjalan mendekatiku.
“Pegang kata-kataku tadi, Kyuhyun-ah. Akan ada saatnya.”
Tanganku terkepal. Ruangan ini sekarang terasa panas dimana dorm kami sedang dalam keadaan ramai dan heboh mendengar berita itu. Donghae hyung berjalan dan mematikan televisi itu. Beberapa detik kemudian memberku menatapku. Kembali membalas tatapan mereka. Aku tersenyum pahit.
“Mwo..ga?”
Sebelum airmataku menetes disini, dengan cepat aku meraih mantel tebal dan meninggalkan dorm kami.
—
Mataku menatap lurus kedepan. Hujan kembali turun. Menyamarkan wajah dan mataku yang sedaritadi terus mengeluarkan airmata.
Aku terduduk dikursi ini sambil menatapi riak danau yang bersambungan dijatuhi rintik hujan. Membiarkan tubuhku basah. Aku tersenyum miris, mungkin ini maksudnya mengucapkan salam perpisahan beberapa hari lalu.
Setelah beberapa menit aku membiarkan hujan membasahiku, tiba-tiba terasa aneh saat hujan tak lagi datang diatasku. Aku mendudukkan diriku dengan benar.
“Apa yang kau lakukan disini?”
Terkesiap. Suaranya, itu suaranya. Aku berdiri dan berbalik.
Ia tersenyum tipis menatapiku. Wajah cantiknya tepat berada dihadapanku, membawakanku payung diatas tubuh kami berdua. Wajahnya tampak lebih pucat. Bibirnya berwarna pink pucat dan pipinya menguarkan rona merah.
Untuk beberapa detik aku masih mengagumi wajahnya, hingga aku dipukul oleh kenyataan bahwa gadis didepanku lah alasanku datang kesini. Menangis. Menyendiri seperti pecundang sejati.
Aku berusaha menggerakkan bibirku, namun susah. Begitu banyak yang ingin aku katakan kepadanya. Banyak pertanyaan yang berkecamuk di otakku, banyak yang harus aku pastikan dari bibirnya sendiri. Begitu banyak hingga untuk mengeluarkan suara saja susah. Tenggorokanku tercekat. Terlebih mendapati cincin tipis yang aku beli di kampung halamanku kini terpasang manis di jari telunjuknya. Ya Tuhan, aku semakin ingin menangis saja.
“Jaljinae?”
Lagi-lagi hanya itu yang kukatakan. Ia menatapku sendu. Menghela nafasnya lalu menunduk.
Aku menatapnya. Bergerak lebih mendekatinya dengan memutari kursi ini hingga tepat berada disampingnya. Aku memutar bahunya hingga ia tepat menghadap kearahku.
Aku melepaskan payungnya. Membiarkan rambutnya basah diterpa air hujan, bersamaku. Ia menatapku bingung. Aku tersenyum dan mengelus rambutnya. Dan spontan melakukan keinginanku untuk memeluknya. Dengan erat.
Tubuhnya terasa menegang. Terlebih saat aku mengelus rambutnya dan mengecup pipinya berulang kali.
“Oppa,-”
“Chukkae.” Ia terdiam. Untuk beberapa saat, dan kini kurasakan bahunya bergetar kecil.
Aku mengelus punggungnya. Setelah itu melepaskan pelukanku.
Ia tampak membuang wajahnya. Aku menunduk, menatap jemarinya lalu menggenggamnya.
“Meskipun sekarang kau menjadi milik orang lain, aku tetap-”
“Geumanhae. Jebal, geumanhaeyo..” Ia menatapku sedih. Aku menghela nafas. Dan tiba-tiba merasa aneh dengan hidungnya yang memerah.
“Ah, mungkin setelah ini kita akan membuat rumor baru.” Gurauku. Aku memaksakan tawaku dan ia menatapku lurus. Ya Tuhan, melihatnya secara detil membuatku ingin menangis lagi.
“Oppa, maafkan aku.” Ucapnya pelan dengan intonasi serius. Aku menggeleng pelan dan menangkup pipinya.
“Uljima.” Lirihku saat hidungnya semakin merah dan sudut matanya tampak mengalirkan sesuatu. Aku tersenyum miris. Menghapusnya dengan kedua ibu jariku. Ia tetap menatapku dengan pandangan sulit diartikan.
“Aku tak pernah membencimu,-” aku menunggunya melanjutkan katanya sembari terus mengelus pipinya. “-maaf aku mengacuhkanmu. Oppa, aku minta maaf.”
Aku menggerakkan telunjukku di bibirnya. Semakin memucat dikarenakan udara dingin dan hujan seperti ini.
“Kyung Ho oppa, dia-”
“-pacarmu. Ya, aku tahu. Selamat untuk kalian.”
Ia menggenggam telapak tanganku yang ada di kedua pipinya. “Oppa, jaljinae?”
Aku tertawa pahit. Ia terdengar ingin membalasku. Aku hanya diam.
“Oppa, jaljinae? Apa kau baik baik saja?”
Matanya memancarkan keseriusan. Benteng hatiku hancur parah saat melihatnya. Tiba-tiba aku mengucurkan air dari sudut mataku.
“Anniya. Aku.. tidak baik-baik saja.” Ia berganti menggerakkan jemarinya, menyapu di sekitar daerah pipi dan mataku.
“Aku tidak baik, Sooyoung-ah..” Rintihku sembari menunduk. Bahuku bergetar. Rasanya aku baru saja membuang jauh-jauh harga diriku didepan seorang wanita. Terlebih wanita yang selalu aku cintai.
“Oppa, uljima.” Tak mengindahkan permintaannya, aku tetap terus menunduk. Suara seraknya menyadarkanku bahwa bukan hanya aku yang menangis disini.
Tangannya menangkap pipiku seperti apa yang aku lakukan padanya. Aku menatapnya. Saat ini, aku merasa sedang berada pada beberapa tahun lalu, dimana matanya mengurung pandangan mataku dan sebaliknya dengan perasaan aneh. Aku baru sadar pipi mantan gadisku ini semakin tirus. Tidak lagi berisi.
Ia mendekat, mengejapkan matanya yang nyaris dijatuhi oleh air hujan. Kurasakan kakinya bertopang pada kakiku. Dengan sedikit menarik tengkukku, ia menyatukan bibir kami. Menggerakkannya dengan sangat perlahan. Aku perlahan menutup mataku dan mencoba menangkap apa yang tengah ia berusaha sampaikan melalui ciuman ini.
Dengan air hujan yang masih turun dengan derasnya, aku bergerak untuk memeluknya yang tampak kedinginan. Bibirnya terasa beku meskipun masih teramat manis. Badannya bergetar dan aku sempat mengutuk diriku sendiri saat membuang payung itu. Membiarkannya hujan bersamaku. Membiarkan keegoisanku untuk membawanya merasakan apa yang aku rasakan juga.
Aku mengesap bibir bawahnya beberapa kali sebelum akhirnya ia menyudahi semua ini.
“Oppa, jangan menangis. Jangan sedih karena aku. Aku akan membenci diriku sendiri jika hal itu terjadi kembali.” Ia berkata dengan dahi dan hidung kami yang masih bersentuhan. Tangannya mengelus leher belakang dan rambutku dengan lembut. Hela nafas beratnya menerpa hidungku.
Aku menatapnya lurus sembari tersenyum kecut. Ia bergerak menjauhkan tubuh kami. Menggerakkan tangannya untuk menggenggam jemariku lalu ia menciumnya beberapa kali.
“Aku tidak pernah berfikir bahwa ini akan terjadi seperti ini,-” Terdengar getaran dan serak suaranya saat mengatakan hal itu.
“Oppa, annyeonggihaseyo.”
Ia memberikan senyum setulus yang ia bisa sebelum akhirnya meninggalkanku berdiri sendiri di tempat ini. Punggungnya menjauh dan aku merasa deja vu kembali. Sebuah perpisahan. Dan perpisahan kali ini benar-benar tampak begitu nyata dimataku.
Oh sial! Jantungku terasa akan ambruk saat ini juga.
Aku membeku. Ditengah hujan deras ini, aku hanya bisa berdiri mematung. Meratapi hatiku yang patah untuk beberapa kalinya. Sembari terus menerus membuat bibirku menampakkan senyum seorang loser. Ya, aku kalah kali ini. Benar-benar kalah. Kalah dalam membuatnya jatuh padaku. Kalah dan merasa bodoh mengapa tak sedari dulu aku menghargai kehadirannya terang-terangan sebagai kekasihku?
Tampak kilas mobil putih yang familiar melintas di hadapanku.
Itu gadisku dan kekasihnya.
Aku menghela nafas dalam. Memejamkan mataku dan menunduk, berusaha mendapat secuil ketenangan yang sangat aku butuhkan kali ini.
‘Ya Tuhan, yakinkan aku untuk bahagia jika ia merasakan hal serupa.’
—
“Cinta itu memang tidak harus saling memiliki.” – Anonymous.
- FIN -
Pasti kalian banyak yang ngerutuk, marah, kesel sama postingan ini karena ngebosenin banget. Iyakan? :$
Maklum, bahasanya juga ‘erghh’ banget mengingat udah cukup lama aku engga nulis ff jiakakak
Gak papalah chingudeul, kan ceritanya lagi berbagi ‘imajinasi’ tentang Kyuyoung waktu berita Sooyoung pacaran beredar
Mau bagi pendapat dan saran dikit buat kalian yang masih galau mengenai ini (me too hihi):
Mungkin Sooyoung ama Kyungho real. Dan Sooyoung-Kyuhyun tidak real, untuk saat ini. Siapa tahu ya nggak? Ternyata si Kyu-Young pernah havin’ a romantic dating sebelumnya? atau atau, ternyata rencana Tuhan malah Kyu-Young bahagia untuk kedepan? xD *dilabrak Kyungho*
Well, jangan sedih banget ah. Aku liat post sebelum-sebelumnya komentarnya banyak yang menunjukkan kalau mereka lagi galaulah, nangislah, sedihlah, sampai mau menutup diri dari socmed. Aduh aduhh, kalau udah nyerah gitu yaa siapa yang mau bantu Knight lain do’a untuk Kyu-Young? xD
Sudahlah. Aku bukannya mau sok-sok gitu. Cuman mau berbagi dan berusaha menghibur. Soalnya aku hibur diri sendiri juga lohh :’D
Buat Kyungho-Sooyoung, selamat! Kyungho juga gak buruk-buruk amat kok, manly cuy xD Baik pula, sampe ngelindungin Sooyoung segala dari netizen. Buat Kyuhyun-Sooyoung, aku tetep sayang mama dan papa Cho kok. Till the end, suer. *alay sih, tapi ini kenyataan kok di dalam diri aku*
Belum ada yang menikah, jadi aku masih boleh berdiri dengan 8 bangku *kalau bisa* dan masih bisa teriak kalau Kyuhyun-Sooyoung itu still a couple :D *alay lagi kambuh, maklum, hari baru semangat alay juga update bung!*
Semangat!
I Love You, You Love Me, We Love Each Other <3
.
.