Title : [prolog] BLIND DATE?
Author : kyuyoung1398
Main Cast : choi sooyoung, cho kyuhyun, choi sulli
Other cast : shim changmin, tiffany hwang, lee donghae, choi siwon, victoria song
Length : series
Genre : romance
Dislaimer : ff ini murni dari hasil novel bacaanku dari kak aliazalea, judul yang sama dan pemikiran yang sama aku tulis di ff ini, dan bab babnya mungkin akan sedikit aku bedakan tapi dengan ending yang sama dan cast yang lumayan banyak
Note : halo ! saya akhirnya kembali, gak nyelesain ff yang we were in love yang baru nyampe part 2, sebenernya aku udah ga bakal ngelanjutin ff itu karena out oft idea ! jadi maaf kalo ada yang nunggu *pede dan aku malah balik dengan ff baru, karya dari kak aliazalea yang menurut aku keren abis kalo castnya di ganti dengan kyuyoung. Aku bukannya plagiat, tapi hanya terinspirasi dari novelnya kak alea XD dan mohon maaf kalo ngebosenin atau malah ga nyambung.
Happy reading ~
PROLOG
Sooyoung pov
BIP BIP BIP
Suara asing yang cukup keras dan suara keran air yang menetes netes membangunkanku dari tidur yang panjang, aku mencoba untuk bicara agar keran air itu dibuka tapi lidahku terasa kelu dan tak mampu untuk bicara apapun. Aku mencoba membuka mataku secara perlahan, tapi tetap tidak berhasil. Aku berusaha sekuat tenagaku , tapi mataku hanya terbuka sedikit dan aku harus menutup mataku kembali karena sinar terang yang menyilaukan dan membutakan pengelihatanku, tapi ketika aku menutup mataku lagi, yang aku sadari ada selang yang bertengger dihidungku membuatku sulit untuk bernafas. Sekali lagi aku buka mataku secara perlahan, memang awalnya sedikit buram dan samar lama kelamaan aku bisa melihat dinding disekitarku, putih tapi sedikit keabu abuan, suara yang membangunkanku terdengar semakin keras,bunyi itu berasal dari benda yang berada di sebelahku, garis hijaunya turun naik yang menandakan aku masih hidup. Aku ada dimana ! tanyaku pada diriku sendiri. Jelas jelas ini bukan diapartemenku, tapi aku teringat, aku berbaring di ranjang rumah sakit. Apa ? aku dirumah sakit !! ucapku tapi kenapa suaraku jadi menghilang seperti ini. Akupun terdiam sejenak, aku haus. Aku mencoba untuk membasahi kerongkonganku tapi tetap tidak berhasil. Akupun berinisiatif untuk membasahi bibirku dengan lidah dan mencoba untuk menelan air liurku sendiri walaupun hanya sedikit. Samar samar aku mendengar suara orang bercakap cakap tapi aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Kualihkan pandanganku keseluruh sudut kamar rumah sakit ini dan mencari cari jam diruangan ini, tepat jam 8 pagi dan seharusnya aku sudah duduk manis tepat di meja kerjaku, tapi aku teringat, aku masih berada dirumah sakit pagi ini. Akupun melirik sudut ruangan ini, ada bunga mawar putih, bunga kesukaanku yang masih segar dan sepertinya baru diganti tepat berada di meja, ada semangkuk bubur beserta segelas air putih. Aku mencoba untuk menggeser tangan kiriku, tapi ada jarum yang menempel di pergelangan tanganku yang membuatku susah bergerak yang dihubungkan dengan kantong berisi cairan yang aku tidak tau apa namanya yang digantung oleh besi kokoh di samping tempat tidurku. Ketika aku ingin mencabut jarum yang menpel dibadanku dengan tangan kananku tiba tiba aku mendengar seseorang berbisik ‘’she’s awake’’ . kualihkan tatapanku pada perempuan bule yang dari pakaiannya adalah seorang perawat. Dia berjalan mendekatiku dan berdiri di sebelah kiriku sambil menggenggam tangan kiriku sambil berkata ‘’how are you feeling ?’’tanyanya padaku sambil berbisik. Aku sebenarnya ingin berteriak di depan wajahnya agar segera mencabut jarum yang menusuk ditanganku, tapi lidahku masih tetap kelu, tapi yang keluar dari mulutku hanya ‘’wa..teh’’. sebenarnya kata yang ingin kuucapkan adalah water, tapi lidahku tidak bisa bekerja dengan normal, tapi untungnya, suster itu mengerti apa yang kukatakan dan menyodorkan segelas air padaku dengan sedotan bengkok untuk membantuku minum. Aku mengangkat kepalaku sedikit untuk minum agar bisa minum dengan benar. Sulli yang berada di sampingkupun langsung membantuku untuk duduk dengan menopang kepala dan bahuku. Akhirnya, kerongkonganku basah oleh air. ‘’do you want more ?’’tanya suster itu setelah menyingkirkan gelas yang sudah kosong itu dari hadapanku. Aku hanya menggeleng lemah dan merebahkan kembali kepalaku dibantal.’’saya akan beritahu dokter peter bahwa kamu sudah sadar.’’suster itu pergi dan langsung menutup pintu. Sulli yang sedari tadi menunggu suster itu pergi langsung tidur tepat disebelahku. aku ingin bertanya padanya aku ada dimana tapi aku hanya bisa terbatu batuk, sulli langsung menyodorkan segelas air padaku.’’eonie, jangan dipaksakan, istirahat saja bicaranya nanti saja.’’
Aku perhatikan sulli tersenyum tapi masih ada raut kekhawatiran, aku menyentuh benda yang menempel di hidungku ternyata itu infus, aku menoleh pada sulli untuk membuka selang infusnya tapi dia menolak.’’nanti saja eonie, tunggu dokter kalau dia bilang tidak apa apa nanti kita lepas infusnya.’’ucapnya. sulli turun dari tempat tidur dan mengelilingi kamar rumah sakit ini dan membuka tirai kain yang berada disamping tempat tidurku. Ketika aku menoleh ternyata kami tidak hanya berdua, ada sesorang yang berada sofa panjang berwarna coklat terisi seorang laki laki yang sedang tidur diatasnya tapi aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Sulli melihatku sedang menatap orang yang sedang tertidur itu lalu berbisik ‘’dia tidak ingin pulang, padahal aku bisa menjaga eonie sendirian sampai dia menyelesaikan pekerjaannya dikantor.’’Siapa orang itu? pikirku. Aku menarik napas panjang ketika tiba-tiba beberapa hal mulai melintas kembali dalam memoriku.
flashback
Aku ingat, aku sedang mengendarai mobil super ngebut dari kantorku menuju Raleigh. Hal ini tentu saja sangat berbahaya mengingat kondisi jalan yang licin akibat hujan rintik-rintik yang jatuh
selepas salju tadi malam. Aku tahu, ada kemungkinan aku akan terlambat dan dia sudah pergi. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku kalau itu terjadi. Kupaksa Mitsubishi-ku menembus angka 145 km per jam. Mesin mobil yang berusia hampir sepuluh tahun itu langsung protes atas perlakuan kejamku, tetapi untuk pertamakalinya aku tidak peduli. Kulihat masih ada beberapa bongkahan es yang tersisa di pinggir jalan. Musim dingin tahun ini benar-benar parah di North Carolina. Salju yang turuh bahkan mencapai enam puluh senti. Belum lagi hujan es yang turun berkali-kali selama
beberapa minggu belakangan ini membuat angin terasa menggigit jika bertiup dan mengenai bagian tubuh yang tidak tertutup baju dingin. Kuikuti tanda lalu lintas, yang menyatakan Airport Raleigh-Durham masih 1,6 km lagi. Aku segera mengambil jalur kanan, keluar dari jalan interstate itu dengan tidak memedulikan bunyi klakson mobil yang jalurnya aku potong dengan paksa. Roda mobil agak tergelincir sedikit ketika kubanting setir, tetapi aku tidak mengurangi kecepatan pada saat melewati tikungan.
Andaikan aku tidak lupa membawa telepon selular?! Saking terlalu terburuburu,benda itu tertinggal di kantor. Seandainya pun aku membawa telepon selular itu, rasanya tidak akan bisa membantuku. Apa yang akan aku katakan? I‟m sorry for being so stupid, for thinking that you would leave me? Atau I love you, please tell me that you love me too? Kata-kata itu tidak bisa menggambarkan perasaanku yang sebenarnya. Aku tidak bisa bernapas jika dia tidak ada. Jika aku mencoba melihat
masa depanku tanpanya, semuanya terlihat suram. Diriku tanpanya bagaikan satelit, yang planetnya telah hancur karena bencana alam besar, meninggalkanku melayang-layang tanpa arah. Mengapa aku terlalu bersikeras bahwa dia tidak mencintaiku hanya karena terpengaruh kata-kata orang yang telah membuat hatiku remuk? Dia tidak akan meninggalkanku seperti yang aku takutkan selama ini. Titik!
Bunyi klakson membangunkanku dari lamunan, ternyata aku sudah memasuki area airport. Aku harus mengangkat kakiku dari pedal gas karena batas kecepatan di area ini hanya 48 km per jam. Aku tidak punya waktu kalau harus ditilang hari ini. Setelah memarkir mobil, buru-buru aku berlari menuju bangunan terminal. Aku harus sedikit menunduk dan memeluk tubuhku ketika berlari karena angin kencang sedang bertiup, dan aku hanya mengenakan sweater turleneck warna pink, yang terbuat dari cashmere. Aku tidak mengenakan jaket, topi apalagi sarung tangan. Aku baru bisa bernapas lagi setelah tubuhku terasa hangat di dalam bangunan terminal. Aku mengamati lokasi keberangkatan mencari counter check-in penerbangan Delta Airlines. Kusempatkan melirik ke layar informasi keberangkatan pesawat. Pada layar terlihat status pesawat yang aku cari adalah LAST CALL. Panik karena tahu aku sudah terlambat, aku berlari menuju counter check-in Delta terdekat
dan berbicara dengan ground crew-nya. Aku memotong beberapa orang yang sedang
antre. “Can you… contact your passenger… who is on the flight to JFK?” tanyaku terputus putus di antara napasku yang masih terengah-engah. Entah karena melihat wajahku yang panik atau karena tatapanku yang seperti orang gila, seorang penumpang yang sudah siap check-in mundur satu langkah dan memberikan aku ruang untuk berbicara lebih dekat dengan ground crew bernama Kate, yang menerima berondonganku dengan wajah pasrah. “Thank you, Sir,” ucapku, berterima kasih kepada bapak yang rela mundur dan memberikan aku ruang untuk melangkah lebih dekat dengan meja check-in. Melihat bahwa penumpang yang sedang dilayaninya tidak marah walaupun antreannya aku potong, Kate pun segera menolongku. Dia menanyakan nomor penerbangan dan nama penumpang yang aku cari. Aku menjawabnya tanpa berpikir lagi. Kudengar Kate berbicara dengan seseorang menggunakan walkie-talkie. Dalam kepanikanku, aku hanya bisa menangkap kata-kata ‘’departure‟ dan ‘’gate‟ yang diulang-ulang. Kate kemudian menatapku dan menggeleng. “I‟m sorry, Ma‟am, but the gate‟s closed. The plane is heading for the runway as we speak.” Daerah di sekujur tubuhku membeku. Melihat wajahku memucat, Kate langsung berkata, “Mungkin Anda bisa menghubungi orang yang Anda cari setelah pesawatnya mendarat di JFK dalam beberapa jam.”
Aku menggeleng. “tidak, tidak bisa. Dia akan sudah dalam perjalanan menuju Charles de Gaulle,” gumamku. Kutinggalkan counter itu dengan orang-orang yang menatapku bingung dan penasaran. Kalau saja penerbangannya hanya akan berhenti di JFK?! Akan tetapi,aku tahu dia akan menyambung perjalanannya dengan Air France menuju Paris, lalu Nice. Asistennya memang mengatakan dia akan kembali dua bulan lagi, tetapi aku tidak bisa menunggu selama itu. Aku harus berbicara dengannya sekarang. Aku dapat merasakan hatiku yang sudah retak selama beberapa bulan belakangan ini kini hancur berkeping-keping. Mataku mulai terasa agak kabur, dan air mata mulai membasahi pipiku. Aku mencoba mengusapnya dengan lengan sweater, tetapi air mata itu tidak mau berhenti. “Why is that lady crying, Mommy?” Kudengar seorang anak kecil, yang sedang menatapku, bertanya kepada ibunya. “Jessica, tidak sopan menatap orang seperti itu. Look away,” komentar ibunya, kemudian memalingkan wajah anak itu dengan paksa agar tidak lagi menatapku. Beberapa orang yang berpapasan denganku menatapku dengan bingung atau khawatir. Ada pula yang menatapku dengan penuh rasa kasihan. Aku bisa membaca pikiran mereka melalui tatapan itu. ‘’Oh look at that, she must be crying because she just say goodbye to her boyfriend’’, pikir seorang ibu. Seakan-akan dia siap memelukku dan menepuk-nepuk punggungku sambil berkata, “Sudah… sudah… jangan menangis. Dia pasti akan kembali.’’ untuk menenangkanku. ‘’Sayang, dia terlalu cantik untuk menangis seorang diri. Mungkin aku sebaiknya membantu menenangkannya’’.pikir seorang laki-laki yang sebenarnya cukup ganteng dan wajib didekati kalau saja aku tidak sedang merasa sesedih ini. ‘’!@#$%^&*()?/’’, pikir dua orang anak kuliahan, yang aku yakin berasal dari
perancis. Karena aku tidak mengerti bahasa perancis, maka aku juga tidak akan bisa memahami apa yang sedang mereka pikirkan. Kupercepat langkah untuk menghindari mereka semua. Aku baru memperlambat langkah setelah berada di luar bangunan terminal, dan perlahanlahan berjalan menuju pelataran parkir. Aku merasa terlalu limbung untuk merasakan dinginnya angin yang sedang bertiup kencang di sekelilingku. Ketika aku sedang menyeberangi jalan, tiba-tiba kudengar seseorang meneriakkan namaku. Suara itu?! Suara yang aku kenal di mana pun aku berada dan seberapa jauh pun. Semula aku mengacuhkan suara itu karena aku pikir itu hanya imajinasiku saja. Kuangkat kedua tanganku untuk menutupi telinga. “Berisiii… kkkk!” geramku. Kemudian kudengar suara yang sama meneriakkan namaku dengan volume lebih keras dan berkali-kali. Suara itu berasal dari belakangku. Perlahan-lahan aku menoleh dan harus memutar seluruh tubuhku agar bisa menatapnya. Aku langsung tersedak ketika melihatnya sedang berdiri di trotoar. Wajah gantengnya dengan hidung, kening, mata, dan garis-garis rahang yang sempurna terlihat bingung dan
tidak pasti. Perlahan-lahan kemudian wajahnya mulai dihiasi senyuman hangat. Senyum itu semakin melebar sehingga aku bisa melihat gigi-giginya yang putih dan tertata rapi. Ya… Tuhan, aku benar-benar mencintai laki-laki satu ini, ucapku dalam hati. Aku mencoba mengontrol tangisku, akan tetapi bukannya berhenti, air mata malah semakin membanjiri wajahku. Kali ini air mataku adalah air mata kebahagiaan. Aku mencoba tertawa di antara tangisku. Detak jantungku sudah tidak keruan. Aku harus meletakkan tanganku di dada untuk mencegah agar jantungku tidak loncat keluar dari tempatnya. Tanpa berpikir panjang lagi aku langsung melangkahkan kaki berlari ke pelukannya. Tiba-tiba kudengar dia berteriak, “sooyoung, watch out!” sambil menolehkan kepalanya ke arah kananku, dan dengan menggunakan kedua tangannya mencoba menarik perhatianku. Wajahnya terlihat panik. Awalnya aku hanya menatapnya bingung, tetapi ketika kutolehkan kepalaku ke arah yang ditunjuknya semua oksigen yang ada di sekitarku tiba-tiba menghilang dan aku tidak bisa bernapas. Aku langsung panik. Aku melihat sebuah Toyota Camry warna hitam melaju ke arahku dengan kecepatan tinggi. Mengapa tidak ada polisi yang menilang mobil ini? Jelas-jelas dia melanggar batas kecepatan yang tertera di area airport. Semuanya bagaikan bergerak lambat. Pandanganku beralih dari Camry itu ke wajah orang yang aku cintai, yang sedang menatapku dengan mata terbelalak karena panik. Aku tidak bisa meninggal hari ini, apalagi karena ditabrak mobil. Tidak peduli mobil itu sebuah sedan mewah sekalipun. Terlebih-lebih baru tiga puluh detik yang lalu aku bisa menemukan kebahagiaanku lagi. Kuperintahkan kakiku agar berlari secepat mungkin menghindari mobil itu, tetapi tubuhku menolak mendengarkan perintah dari otakku. Aku hanya bisa berdiri kaku dan menutup mata, menunggu hingga sedan hitam itu menghantamku. Ya… Tuhan, jangan sekarang! Tolong… jangan sekarang, pintaku dalam hati. Kalau aku dibolehkan hidup, aku akan menjadi orang baik. Aku akan meluangkan waktu untuk membantu orang lain, meskipun aku sedang sibuk. Ketika aku menyadari bahwa aku sedang bernegosiasi dengan Tuhan, aku pun berhenti berlari. Akhirnya, aku hanya menggumam, “Berikanlah aku satu kesempatan lagi! Aku janji akan lebih berterima kasih atas segala sesuatu yang sudah aku terima dalam hidupku.”Kemudian kudengar bunyi rem mobil yang sedang bersusah payah untuk berhenti.
Ciiiiiii… ttttttttttt… GUBRAK…!
Lalu, semuanya gelap.
TBC
Diprolog ini aku sesuain sm dinovelnya kak alea, tapi buat part 1 kemungkinan ada yang aku bedain. Keep RCL ya
