Title : [part1] BLIND DATE ? (www.myblinddate.com)
Author : kyuyoung1398
Main Cast : choi sooyoung, cho kyuhyun, choi sulli
Other cast : shim changmin, tiffany hwang, lee donghae, choi siwon, victoria song
Length : series
Genre : romance
Dislaimer : ff ini murni dari hasil novel bacaanku dari kak aliazalea, judul yang sama dan pemikiran yang sama aku tulis di ff ini, dan bab babnya mungkin akan sedikit aku bedakan tapi dengan ending yang sama dan cast yang lumayan banyak
Note : halo ! saya akhirnya kembali, gak nyelesain ff yang we were in love yang baru nyampe part 2, sebenernya aku udah ga bakal ngelanjutin ff itu karena out oft idea ! jadi maaf kalo ada yang nunggu *pede dan aku malah balik dengan ff baru, karya dari kak aliazalea yang menurut aku keren abis kalo castnya di ganti dengan kyuyoung. Aku bukannya plagiat, tapi hanya terinspirasi dari novelnya kak alea XD dan mohon maaf kalo ngebosenin atau malah ga nyambung.
Happy reading ~
TIK… TOK… TIK… TOK…. Bunyi jam dinding semakin membuatku tidak nyaman.Meskipun aku dapat mendengar musik klasik di antara bunyi jam dinding itu,semuanya tidak bisa mengalahkan suara detak jantungku sendiri. Sambil pelan-pelan meminum kopi, sekali lagi kuperhatikan sekelilingku. Berada di dalam ruangan ini mengingatkanku akan butik-butik yang ada di Rodeo Drive. Hah… aku hanya bermimpi pernah masuk ke butik-butik itu. Aku hanya pernah melihatnya ketika menonton acara The Osbournes di MTV. Walaupun begitu, yang jelas segala sesuatunya tentang ruangan ini meneriakkan kata MAHAL dan SUKSES. Mulai dari karpet tebal warna putih yang terhampar di kakiku hingga sofa modern warna merah darah yang aku duduki. Meja kaca dengan kaki warna putih di hadapanku dipenuhi dengan majalah-majalah fashion edisi terbaru. Wajah Jessica Alba, Angelina
Jolie, Nicole Kidman, dan artis Hollywood lainnya menghiasi sampul majalahmajalah itu. Seorang wanita bernama Kristen duduk di belakang meja kaca berbentuk seperti angka delapan. Di hadapan Kristen terdapat papan bertuliskan RECEPTION. Kristen tersenyum ramah kepadaku. Aku pun membalas senyumannya dengan canggung. Aku masih tidak percaya bahwa aku ada di sini, lebih-lebih lagi di tempat ini.Selama ini aku selalu berpikir bahwa wanita yang memerlukan jasa blind date adalah tipe wanita yang:
1. Berwajah jelek, hidung seperti nenek sihir, mata jereng atau terlalu besar
seperti ikan mas koki, atau gigi gingsul mirip vampir.
2. Berpenampilan buruk, termasuk tidak tahu cara memilih pakaian yang sesuai
dengan bentuk tubuh sehingga terlihat seperti lemper.
3. Tidak memiliki tata krama, misalnya suka berbicara dengan mulut penuh
makanan.
4. Terlalu tua sehingga pilihannya jadi sangat terbatas.
5. Dipaksa orangtua untuk menikah secepatnya.
6. Senang menggoda, dan hanya menginginkan laki-laki untuk hiburan mereka.
Aku tidak memiliki satu pun karakteristik itu. Pertama, aku tahu bahwa aku tidak cantik seperti bintang film atau supermodel, tetapi aku cukup menarik dengan rambut agak ikal dan wajah oval. Tubuhku cukup proporsional dengan tinggi 170 sentimeter dan berat badan 50 kilogram. Kulitku meskipun tidak kuning langsat, masih tetap menggambarkan kulit wanita Asia pada umumnya, yaitu kuningkemerah-merahan. Kedua, banyak orang mengatakan selera bajuku patut ditiru karena aku selalu bisa memilih pakaian yang akan menonjolkan fisikku dan menyempurnakan penampilanku sebagai wanita Asia yang sukses hidup danbekerja di Amerika. Ketiga, umurku masih 27 tahun, masih cukup muda. Keempat, orangtuaku tidak pernah memaksaku untuk menikah secepatnya, mereka bahkan terkesan tidak peduli apakah aku akan menikah atau tidak. Terakhir, meskipun aku tidak pernah mengalami masalah untuk mendapatkan laki-laki yang aku mau, aku bukan tipe wanita penggoda karena aku lebih memilih hubungan yang serius daripada one night stand. Jadi, mengapa aku ada di sini? Aku ada di sini karena usahaku coba mencari calon suami sendiri selama dua bulan tidak juga membuahkan hasil. Akhirnya, aku harus mengaku kalah dan datang ke tempat ini. Aku menemukanwww.MyBlindDate.com dari Sulli, adikku yang sedang menyelesaikan studi doktornya di bidang psikologi di Washington D.C. Ia fans berat acara OprahWinfrey. Di salah satu episodenya seminggu yang lalu, Oprah membahas mengenai blind date, dan selebriti berkulit hitam paling sukses di Amerika itu sangatmerekomendasikan MyBlindDate atau MBD sebagai salah satu perusahaan kencan buta terbaik bagi wanita-wanita sibuk untuk bertemu calon suami. Usut punya usut, ternyata MBD mempunyai cabang di Greensboro, North Carolina, kota terdekat dengan tempat tinggalku. Setelah memberanikan diri menelepon MBD beberapa hari yang lalu dan membuat janji, Sabtu pagi ini aku bela-belain berkendaraan menempuh jarak selama 45 menit dari Winston-Salem.
Berdasarkan informasi yang telah aku kumpulkan melalui internet, MBD didirikan sejak tahun 1985 atas dasar pengalaman wanita bernama Tracy Kelly dari Chicago, yang bernasib sama denganku. Jumlah klien mereka sudah mencapai ribuan. MBD memberikan pernyataan bahwa hampir setiap hari mereka menerima berita pertunangan ataupun pernikahan dari klien-klien mereka. Jadi, aku memiliki cukup keyakinan akan kesuksesannya. Tidak lama kemudian seorang wanita oriental amerika-asia berambut pirang dengan tinggi hampir 1.80 meter menghampiriku sambil tersenyum lebar. Otomatis aku langsung merasa cocok dengan wanita ini. Wajahnya mengingatkanku akan Reese Witherspoon, yang menurutku menggambarkan keramahan dan persahabatan.
“Hi, I‟m sorry that you have to wait. I‟m Tiffany hwang,” ucap wanita itu. Aku mengangguk, lalu berdiri dan menjabat tangannya. Tanpa basa-basi lagi Tiffany langsung menggiringku ke ruangannya. Kutinggalkan cangkir kopiku yang masih setengah penuh di meja lobi. Ruang kerja Tiffany ternyata tidak berbeda dengan lobi yang baru aku tinggalkan. Semua perabot yang ada di dalamnya terlihat
modern dan berteknologi canggih. Setelah mempersilakan aku duduk, Kirsten datang menyerahkan beberapa lembar kertas dengan tulisan tanganku di atasnya. Kertas itu berisi informasi mengenai diriku dan tipe laki-laki yang aku inginkan. Setelah Kirsten keluar ruangan, Tiffany lalu duduk di belakang meja dan terlihat menyimak lembaran-lembaran kertas itu selama beberapa menit, kemudian tersenyum kepadaku.
“Sooyoung Choi. Apakah aku mengucapkannya dengan benar? Dari namamu sepertinya kau orang asia, tepatnya korea ?” tanya Tiffany
“Yes,” balasku, sambil tersenyum juga.
“Nama yang bagus. Aku juga keturunan amerika-korea”komentar Tiffany
“Terima kasih. Namamu juga bagus .” ucapku lagi
Tiffany tertawa mendengar komentarku.
“Oke, kalau kau tidak keberatan aku akan membacakan kembali apa yang
Kau sudah tuliskan mengenai persyaratan yang kau inginkan dari pasangan date-mu. Kami hanya ingin memastikan agar tidak terjadi salah paham.” Ucapan tiffany terdengar serius, meskipun wajahnya masih tersenyum ramah. Aku mengangguk.
“kau menulis bahwa ingin pasangan date-mu tingginya antara 175
hingga 180 sentimeter?”tanya tiffany
“Ya, apakah itu akan bermasalah?” tanyaku ragu. Aku memang tidak suka lakilaki yang terlalu pendek karena mereka akan membuatku merasa seperti raksasa. Dengan ukuranku yang bisa dibilang tinggi kalau dibandingkan dengan wanita Korea pada umumnya, aku merasa lebih nyaman dengan laki-laki yang tingginya antara 175 hingga 180 sentimeter.
“tidak, ini tidak akan bermasalah. Hanya saya pikir kau memerlukan lakilaki yang lebih tinggi dari 175 sentimeter. Apakah kau mengenakan sepatu hak sewaktu Kirsten mengukur tinggi mu?” tanya Tiffany
“tidak , aku tidak memakai sepatu,” jawabku.Tiffany lalu berdiri dan melepaskan sepatu haknya. “Tinggiku 165 sentimeter,
dan tinggi mu tidak jauh dariku.”
Aku lalu ikut berdiri dan mengukur tinggiku di samping Tiffany. Benar juga, ucapku dalam hati.
“Benar, kan?” Tiffany tersenyum kepadaku.
“Mmmhhh… aku selalu berpikir bahwa aku lebih pendek dari ini,” gumamku.
Tiffany tertawa mendengarku. “Kebanyakan wanita lupa kalau mereka lebih sering pakai sepatu hak daripada tidak.” Tiffany mencoba menenangkanku. “aku rasa akan lebih baik bila kau mengubah tinggi minimum pasanganmu menjadi 177 sentimeter.” Aku menyetujui saran itu.
“Untuk umur, kau memilih antara 26 hingga 40. Betul?” Aku mengangguk. Sulli telah mengingatkanku agar memilih laki-laki di atas umur 30 tahun karena menurutnya laki-laki yang belum mencapai usia kepala tiga kurang dewasa. Aku tidak terlalu setuju dengan pendapatnya, mengingat pengalaman kedua orangtuaku. Usia appakku lebih muda dua tahun dari eommaku, dan pernikahan mereka berjalan lancar-lancar saja. Umurku akan menginjak 28 tahun beberapa bulan lagi, aku yakin laki-laki berumur 26 tahun sudah cukup dewasa untuk dipertimbangkan sebagai prospek suami. “Itu juga tidak akan bermasalah. Kami ada banyak klien laki-laki yang masuk
dalam kategori umur tersebut.” Tiffany kemudian menambahkan, “kau terbuka dipasangkan dengan laki-laki dari berbagai ras. Sekali lagi, itu akan membuat kami lebih mudah menemukan pasangan date untukmu.” Tiffany mengedipkan matanya kepadaku sambil tersenyum. Aku tertawa melihat ekspresinya. Sulli berkata kepadaku bahwa laki-laki dari Amerika Selatan cenderung sangat mencintai istrinya, meskipun mereka juga paling sering selingkuh. Laki-laki bule kebanyakan akan menjadi botak kalau sudah tua. Hal ini mengingatkanku akan Bruce Willis, yang kepalanya sudah dibiarkan botak selama sepuluh tahun terakhir untuk menutupi kenyataan dia sudah kehilangan
rambutnya pada usia yang cukup dini. Laki-laki Asia biasanya kurang menghargai istri tapi aku sebenarnya ingin suamiku orang asia sama sepertiku, sedangkan laki-laki African American malah justru kalah terhadap perempuan. Sebenarnya, aku tidak tahu mengapa aku mendengarkan Sulli, padahal Sulli sama sekali tidak berpengalaman dalam berpacaran. “kau mengharuskan pasangan date-musingle dan unattached. Apakah kau bersedia dating dengan laki-laki yang statusnya baru “pisah” dari istri mereka?” tanya Tiffany. Tanpa berpikir aku langsung menjawab, “Tiffany. Saya ingin mereka “single, sesingle- single-nya”. Tidak duda cerai, dan terutama tidak laki-laki yang secara hukum masih terikat pernikahan, meskipun mereka mengatakan mereka sudah pisah.” Ini adalah salah satu persyaratan yang sempat kubahas panjang-lebar dengan Sulli. Aku dan Sulli setuju, aku sebaiknya tidak melayani laki-laki beristri yangmasih senang “belanja”, tidak peduli apa pun alasan yang mereka kemukakan. Pendapat kami agak berbeda mengenai duda cerai. Menurut Sulli, laki-laki yang sudah pernah bercerai bukan berarti laki-laki yang tidak bisa menjadi suami yang baik. Ada begitu banyak faktor yang bisa menjadi penyebab perceraian. Walaupun begitu, aku tidak mau mengambil risiko. Kami juga membahas mengenai duda yang ditinggal mati istrinya, baik duda yang tidak mempunyai anak maupun ada anak. Akhirnya, kami setuju bahwa aku harus menghindari duda jenis apa pun juga. Tiffany mengangguk. “kau mencentang boks untuk area North Carolina saja,”
lanjut Tiffany. “aku rasa akan lebih baik bagiku mulai dengan laki-laki yang tinggal cukup
dekat denganku, tetapi aku bisa mengubahnya nanti kan kalau misalnya aku tidak bisa menemukan pasangan yang cocok setelah enam bulan?” Aku mencoba menjelaskan alasanku mencentang pilihan itu. “Oh, kau tidak perlu khawatir soal itu. Aku cukup yakin kau akan menemukan pasangan yang cocok dalam waktu enam bulan.” Tiffany terdengar yakin.“Oh, ya?” tanyaku bingung dan kaget.
Tiffany mengangguk. “kau adalah tipe wanita yang biasanya dicari laki-laki dalam suatu relationship.”
“Oh,” adalah satu-satunya kata yang keluar dari mulutku. Aku merasa terlalu ge-er untuk menanggapi pernyataan Tiffany dengan kata lain, meskipun kalau aku mau jujur dengan diriku sendiri aku tahu itu memang kenyataannya. Aku memang tidak pernah mengalami masalah untuk menggaet laki-laki, tetapi mendengar seseorang mengkonfirmasikan sesuatu yang aku hanya bisa rasakan, masih tetap membuatku canggung. Tiffany tertawa melihat reaksiku. “kau tidak perlu menjawab pertanyaan berikut ini, tetapi kalau kau bisa itu akan sangat membantu kami lebih memahamimu dan menemukan pasangan yang paling cocok untukmu.”
“Go ahead,” ucapku, mengizinkan Tiffany menyampaikan pertanyaannya.
“Apakah yang membuat kau datang ke MBD?”Aku tertawa sebelum menjawab. “aku baru putus dari hubungan yang cukup serius beberapa bulan yang lalu. Setelah melakukan makeover, termasuk memotong pendek rambutku, membeli baju baru dengan warna yang lebih cerah, aku
memutuskan melanjutkan hidup dan datang ke MBD.” “Well said,” balas Tiffany penuh pengertian. “People should quote those words that you just told me and turned it into a movie or something.”
‘’dia orang korea sama sepertiku.’’ucapku dan membuat Tiffany membulatkan matanya.
‘’kenapa bisa putus ?’’ tanya Tiffany polos Aku tertawa terbahak-bahak mendengar komentar dan pertanyaannya. Kini aku memang bisa menertawakan keadaanku, tetapi tidak tiga bulan yang lalu. Aku tidak menceritakan kejadian sebenarnya bahwa aku melihat Shim changmin, pacarku selama tiga tahun, selingkuh dengan asistennya. Aku ingat betul kejadian pada akhir bulan Mei lalu itu. Aku baru saja sampai di apartemen pukul enam hari Jumat sore ketika Changmin menelepon untuk menunda date kami karena dia harus lembur. Dia berjanji akan menelepon kembali setelah pekerjaannya selesai. Aku tentunya tidak berkeberatan, aku justru senang karena pacarku begitu tekun dengan pekerjaannya. Beberapa minggu ini memang Changmin sering pulang malam karena salah satu klien terbesarnya sedang terkena kasus. Sebagai salah satu pengacara termuda di
kantornya, aku justru merasa bangga karena para partner di kantornya melibatkan pacarku untuk menyelesaikan kasus itu sehingga aku sama sekali tidak curiga akan jam kerjanya yang tiba-tiba berubah. Aku lalu menyempatkan diri membuatkan pasta jamur kesukaannya karena aku tahu dia pasti akan datang dengan wajah kelaparan, seperti biasanya. Akan tetapi, setelah menunggu hingga pukul tujuh malam dan Changmin masih belum telepon juga, akhirnya aku pun menghubungi kantornya. Anehnya tidak ada yang mengangkat. Aku lalu menghubungi telepon selularnya, tapi panggilanku langsung masuk ke voicemail. Dengan pemikiran bahwa aku akan memberikannya kejutan jika aku muncul di kantornya dengan membawa makan malam untuknya, aku menempuh jarak 30 menit untuk tiba di bangunan kantornya yang terlihat sepi kecuali bagian lobinya.
“Hello, Miss Sooyoung, coming to see Mr. Changmin?” tanya Leonard, satpam kantor Changmin. Ia tersenyum ramah dan aku bisa melihat deretan giginya yang putih, kontras sekali dengan kulitnya yang berwarna ebonit. “Yes, is he still here? Aku bawakan dia makan malam,” balasku tidak kalah
ramahnya. “Apakah kau sudah makan malam?” “You are a sweet woman. Ya, saya sudah makan sekitar satu jam yang lalu, thanks for asking.”
Aku tersenyum mendengar jawaban Leonard. Itulah salah satu sebab mengapa aku menyukai North Carolina, orang-orangnya sangat ramah.
“Mr. Changmin masih di atas dengan Miss Victoria. Sebentar, saya telepon beliau dulu untuk memberitahu bahwa Anda ada di sini,” ucap Leonard lagi. Ia lalu mengangkat telepon.
Aku mengangguk. Rupanya memang kasus yang Changmin hadapi cukup serius karena bahkan Victoria, asistennya, juga harus lembur. “Tidak ada yang menjawab.” Leonard terlihat sedikit bingung. “Mari, saya antar nona ke ruangannya,” ucap Leonard. Aku tahu bahwa di kantor Changmin apabila ada nonpegawai yang ingin masuk ke dalam, maka ia harus ditemani oleh salah
satu pegawai. Leonard mengiringiku ke lift dan mengantarku ke ruangan Changmin di tingkat
delapan. Ketika pintu lift terbuka, lantai itu terlihat sepi dan redup. Leonard kemudian berjalan menyeberangi ruangan yang dipenuhi dengan meja-meja yang dipisahkan oleh beberapa sekat, tempat para asisten duduk pada siang hari. Aku tidak melihat Victoria di mana pun juga. Aku hampir tidak mengenali ruangan ini. Terakhir kali aku ada di dalam ruangan ini ketika Changmin membawaku untuk dikenalkan kepada kolega-koleganya hampir dua tahun yang lalu, dan pada saat itu semuanya terlihat sibuk, bahkan ramai.
“Sepi sekali,” gumamku. Aku masih belum curiga ada sesuatu yang aneh dengan keadaan ini.
Leonard hanya mengangkat bahunya, dan terus berjalan menuju ruangan yang berseberangan dengan lift. Kami berdiri di depan pintu kayu berwarna cokelat tua yang tertutup. Jendela sepanjang dua meter, yang terletak di sebelah pintu, juga tertutup oleh kerai kayu horizontal. Ada sinar terang yang menembus ke luar, menandakan masih ada orang di dalamnya. Leonard bersiap-siap mengetuk pintu itu, tetapi aku berbisik perlahan. “Biar saya yang melakukan. Saya ingin membuat kejutan untuknya.” Leonard menyeringai, dan berjalan kembali menuju lift. Aku tersenyum melihat
wajah Leonard. Dalam hati aku berjanji akan membuatkan kue cokelat untuknya, yang bisa dibawa Changmin pada hari Senin. Setelah menarik napas aku pun membuka pintu itu perlahan-lahan, sebisa mungkin tidak mengganggu konsentrasi Changmin apabila dia sedang bekerja. Akan tetapi, apa yang kulihat cukup membuatku ternganga. Pacarku dan Victoria dalam posisi “doggy style”. Pakaian mereka masih cukup lengkap di bagian atas, tetapi tidak ada sehelai pakaian pun
dari pinggang ke bawah. Aku mendengar suara orang berteriak kaget, dan aku baru sadar bahwa suara itu adalah suaraku. Otomatis dua pasang mata langsung mengarah kepadaku. Mata Changmin langsung melebar ketika melihatku. “Excuse me,” ucapku, dan buru-buru lari menuju lift. Aku tidak berhenti berlari hingga sampai di dalam mobil. Aku bahkan tidak menghiraukan Leonard, yang menanyakan apakah ada masalah ketika melihatku berlari melewati lobi bagaikan dikejar setan. Aku tidak bisa berkata-kata, bahkan tidak mampu menangis. Aku masih shock. Untung saja aku selalu menolak tinggal bersama Changmin selama kami berpacaran sehingga aku masih punya tempat tinggal setelah kejadian itu. Walaupun begitu, aku merasa apartemenku tidak bisa memberikan kenyamanan dan keamanan yang aku inginkan. Selama dua minggu aku terpaksa tinggal dengan
Sulli di Washington D.C. untuk menghindar dari Changmin, yang setelah kutemukan sedang ML dengan asistennya selalu meneleponku, mendatangi apartemenku, bahkan menggangguku di kantor untuk meminta maaf. Setelah tahu aku tidak akan pernah memaafkannya, Changmin berubah menjadi seorang stalker. Ia meneleponku siang dan malam hanya untuk menutup kembali telepon itu apabila aku mengangkatnya. Dengan rasa kesal akhirnya aku meneleponnya untuk mengajaknya bertemu dan memutuskan hubunganku dengannya selama-lamanya. Aku mengajaknya bertemu pada hari Minggu siang di tempat yang ramai untuk mencegah pertemuan itu berubah menjadi sebuah konfrontasi yang akan melibatkan kekuatan fisik. Selama tiga tahun kami bersama-sama, Changmin memang sama sekali tidak pernah berbuat kasar terhadapku. Akan tetapi, Changmin laki-laki dan secara fisik dia lebih kuat daripada aku. Apalagi Changmin sedang terluka, dan aku tahu
orang yang dalam kondisi seperti ini akan memiliki kecenderungan mudah kalap kalau keinginannya tidak dipenuhi. Changmin sedang duduk sendiri di meja favorit kami di restoran yang dia pilih
ketika aku datang. Sekali lagi aku harus mengakui dia adalah laki-laki paling ganteng yang pernah aku pacari. Kemeja biru yang dikenakannya menempel dengan sempurna pada bahunya yang tegap. Kedua lengannya yang berotot ditutupi oleh sedikit bulu berwarna cokelat muda. Dia tersenyum dan aku kembali ke realita. Sulli pernah berkata bahwa senyum Changmin selalu terlihat palsu dan
tidak tulus. Aku tidak pernah mengerti apa yang dimaksud Sulli hingga saat itu. Senyum itu terlihat licik. “Let’s get this over with,” ucapku tegas, lalu duduk di kursi di hadapan Changmin. Dia terlihat kaget mendengar nadaku, tetapi ketika melihatku duduk dia pun menatapku dengan penuh harap. Dia masih tersenyum, kemudian pandangannya tertuju ke dua kantong besar dari Old Navy yang ada di genggamanku dan senyumnya langsung hilang dalam sekejap mata. “Do you want anything to eat?” tanyanya. Seorangwaiter mendatangiku, tetapi aku tidak memesan apa-apa. Aku tahu, aku
tidak akan mampu berlama-lama duduk berhadapan dengannya tanpa merasa
ingin menamparnya. “Aku ke sini untuk memberitahumu agar berhenti menggangguku. Aku
tidak ingin ada hubungan apa-apa lagi denganmu sampai kapan pun juga.” Aku lalu berdiri dan menyerahkan dua kantong yang tadi aku bawa kepadanya. “Aku sudah membereskan barang-barangmu yang masih ketinggalan di apartemenku. Semuanya ada di dalam kantong-kantong ini. Have a nice life,” ucapku, lalu berdiri dan melangkah meninggalkannya. Changmin menatapku dengan mulut terbuka. Kemudian tanpa kusangka-sangka Changmin juga berdiri dan menarik lenganku “Apakah kau bahkan tidak ingin tahu mengapa aku melakukan itu?” tanyanya.
Matanya menatapku dalam. Aku melihat ada kemarahan dan kebencian di situ. “Oh, aku tahu alasannya,” jawabku. Aku tahu alasan utama mengapa Changmin selingkuh, tidak lain karena seks. Selama ini aku sangat bersyukur karena telah menemukan Changmin, laki-laki yang berbeda dari pacar-pacarku sebelumnya. Dia memahami prinsipku yang tetap ingin menjadi perawan hingga aku menikah. Aku bahkan tidak pernah menyangka Changmin selingkuh karena dia tetap selalu perhatian terhadapku sampai Sulli menempelkan ide itu di kepalaku ketika aku menceritakan tentang perselingkuhan Changmin.
“Cara Changmin memperlakukan eonie seperti dia sedang menebus dosa. Dia terlalu perhatian.” Kata-kata Sulli itulah yang membuatku mencoba mengingat-ingat, apakah aku bisa melihat ada perubahan dalam diri Changmin selama beberapa bulan terakhir? Aku baru sadar Changmin jadi semakin sering mengajakku ke luar makan malam dan memberiku hadiah-hadiah romantis dan mahal. Awalnya hanya bunga mawar putih setiap kali dia muncul di apartemen, tapi kemudian dia muncul dengan gelang dari Tiffany’s atau syal dari Burberry. “Tolong jawab satu hal ini. Apakah dia satu-satunya atau ada perempuan lain sebelum dia?” desisku. Changmin tidak menjawab, tetapi dari sorot matanya aku tahu ternyata dugaan Sulli benar. Aku harus menarik napas dalam dan menahan diriku tidak mengguyurkan satu pitcher bir yang ada di meja kami ke kepalanya. Bagaimana mungkin aku bisa sebuta ini? Bagaimana mungkin Sulli, adikku yang dua tahun lebih muda dariku dan juga masih perawan dan rekor dating-nya sangat minim, bisalebih punya intuisi membaca gelagat Changmin daripada aku? Kulepaskan cengkeraman Changmin dari lenganku dan bergegas melangkah ke luar restoran. Aku tidak memedulikan tatapan beberapa orang di dalam restoran yang cukup padat itu. Sinar matahari yang terik langsung menyambutku. Kukenakan kembali kacamata hitam yang tadi aku gantungkan di kerah kausku. Tiba-tiba kudengar pintu restoran terbuka dengan bantingan yang cukup keras, dan kulihat changmin sedang menuju ke arahku. Wajahnya seperti badai, penuh dengan kemarahan. Aku tahu bahwa aku hanya akan mengundang masalah apabila tidak menjauh darinya saat itu juga, tetapi aku penasaran ingin tahu apa yang ingin
dia katakan kepadaku sehingga membuatnya terlihat seperti itu. “Apakah kau tahu bagaimana rasanya tidak mendapatkan seks selama dua tahun?!” teriaknya kepadaku. Kukerutkan keningku, mencoba mengingatkannya bahwa kami sedang berada di tempat umum dan tingkah lakunya yang seperti orang kesurupan menarik perhatian semua orang yang ada di teras restoran. Kemudian aku tersadar oleh katakata terakhirnya. Dia ternyata sudah tidak jujur terhadapku selama setahun
terakhir ini. “Jadi, kau sudah selingkuh selama setahun terakhir ini, ya?” tanyaku santai. “Ya, kau terlalu sibuk dengan hidupmu sendiri sehingga kau tidak pernah memperhatikanku. Ada empat perempuan lain sebelum dia, dan we did it everywhere. Termasuk di atas tempat tidurku.” Changmin menutup penjelasannya. Luapan kemarahan yang sudah aku coba tahan naik ke permukaan. Bagiamana mungkin dia bisa mengatakan aku terlalu sibuk dengan kehidupanku sehingga tidak memperhatikan dia? Selama tiga tahun dia pikir aku sedang berbuat apa? “Apakah itu alasannya mengapa kau keluar dari restoran sambil marahmarah?Untuk mempermalukan diri kau sendiri dengan mengumumkan perselingkuhan kau kepada seluruh Winston-Salem?” Meskipun darahku sudah mendidih, anehnya suaraku masih terdengar tenang. Aku mendengar seseorang berteriak, “Laki-laki itu perlu ditampar.” “Setuju…!” sambut beberapa orang lainnya. Seakan-akan baru sadar bahwa tidak hanya aku yang baru saja mendengar pengakuannya, Changmin menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan hal itu. Ketika sadar apa yang telah dilakukannya, dia terlihat semakin marah dan berjalan mendekatiku. Baru saja dia berjalan dua langkah, dua laki-laki berbadan
tinggi besar mencengkeramnya dan mendorongnya untuk menjauhiku. Salah satu dari mereka berambut cokelat, dan yang satu lagi mengenakan topi baseball berlogo Wake Forest University dan berwajah asia sama sepertiku. “Walk away, man,” ucap laki-laki yang mengenakan topi Wake Forest University itu. Changmin kemudian berjalan menjauhiku, tetpai sebelumnya dia berteriak,
“Kau lihat saja, tidak akan ada laki-laki yang mau denganmu! Tidak akan ada laki-laki yang bisa tahan berhubungan dengan kau! Akulah satu-satunya laki-laki untuk kau!” Sepanjang sejarah aku tidak pernah dihina oleh siapa pun juga seperti Changmin baru saja menghinaku. Aku sudah berniat menampar dia saat itu, tetapi terlambat orang lain telah melakukannya untukku. Laki-laki yang berambut cokelat telah melayangkan kepalan tinjunya ke sisi kanan wajahnya, dan aku mendengar bunyi “crack” yang cukup keras. Kulihat Changmin mundur beberapa langkah karena terkejut dengan serangan tiba-tiba itu. Darah segar mulai menetes dari pelipisnya, yang kini ditandai garis warna merah yang cukup panjang tepat di samping alisnya. “That’s not the way to talk to a lady,” geram laki-laki yang baru melayangkan kepalan tinjunya. Changmin terlihat ingin melakukan serangan balik ke laki-laki itu. Aku yakin dia akan bisa mengalahkan laki-laki berambut cokelat itu karena Changmin jelas-jelas lebih tinggi dan tubuhnya lebih gempal. Akan tetapi, ketika ia melihat laki-laki yang mengenakan topi Wake Forest itu sedang bertolak pinggang, Changmin berpikir dua kali sebelum meluncurkan serangannya. Untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa meskipun laki-laki bertopi itu lebih kurus daripada Changmin, kedua lengannya terlihat kekar. Cukup kekar untuk mencekik Changmin sampai kehabisan napas. Setelah memberikan tatapan ganas kepadaku, Changmin kemudian melangkah pergi yang diikuti oleh teriakan “booooo” dari beberapa orang yang menonton kejadian itu. “Ma’am… are you alright?” tanya laki-laki bertopi itu lagi, sambil berjalan ke arahku. Aku tidak bisa betul-betul melihatnya karena wajah asianya tertutup oleh bagian luar topi tersebut. Aku mengangkat tangan dengan telapak menghadap ke arah laki-laki bertopi tersebut, dan mengangguk. “Thank you for that,” ucapku. Laki-laki bertopi itu mengerti sinyalku, dan menghentikan langkahnya. “It was our pleasure,” balas laki-laki yang berambut cokelat, yang setelah aku perhatikan mengingatkanku akan seekor Panda. Mungkin karena senyumnya yang
sumringah, tatapannya yang bersahabat, atau matanya yang dalam. Temannya yang bertopi menyentuh ujung topinya. Aku lalu berjalan menuju mobil, dan meluncur pulang. Malam itu juga aku
berangkat ke Washington D.C. Pertanyaan Tiffany menarikku kembali ke masa kini. “Jadi, kau mencentang ‘’Looking for a serious relationship’’ sebagai pilihanmu. Betul?” “Ya. Aku sudah 27 tahun, dan sekarang tampaknya waktu yang tepat untuk mulai suatu hubungan yang superserius,” jelasku. Ada beberapa alasan lain tentunya, tetapi aku tidak akan menceritakannya kepada Tiffany. Dia adalah agen kencan butaku, bukan seorang psikolog. Tiffany tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasanku. “aku mengerti maksud mu. Pokoknya, kau tidak perlu khawatir. Banyak klien laki-laki kami yang menginginkan hal yang sama.” Aku mengangguk. Justru yang aku khawatirkan adalah tidak ada satu pun dar laki-laki yang sesuai dengan kriteriaku itu bersedia menjalin hubungan serius denganku. Selama tiga bulan berulang kali kuputar percakapan terakhirku dengan Changmin. Entah mengapa, tetapi kata-katanya, “Kau lihat saja, tidak akan ada lakilaki yang mau berhubungan dengan kau !. Tidak akan ada laki-laki yang bisa tahan berhubungan dengan mu !,” semakin hari semakin menggangguku. Apakah ada yang salah dengaku? Apakah memang benar tidak ada laki-laki lain yang akan mau berhubungan denganku? Kalau saja aku mendengar ucapan seperti ini tiga tahun yang lalu sebelum aku mengenal Changmin, aku akan tertawa terbahak-bahak karena jelas-jelas itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Entah bagaimana, tampaknya selama tiga tahun aku bersama Changmin tanpa aku sadari lambat laun aku sudah kehilangan jati diri dan kepercayaan diriku. Berulang kali Sulli memastikan aku bahwa Changmin hanyalah laki-laki idiot yang tidak bisa menghargai diriku, dan Sulli memintaku melupakan semua katakata yang pernah diucapkan Changmin kepadaku. Terutama kata-kata yang menyakitkan hatiku. “Oke, pertanyaan terakhir.” Suara Tiffany lagi-lagi menyelamatkanku dari mengingat kembali kejadian tiga bulan yang lalu itu. “Untuk body type, kau menulis ‘’Athletic, I don’t mind chubby but not obese.” Aku tertawa mendengar tulisanku dibaca kembali oleh Tiffany. “Oh…. man, I sound so shallow now that you are reading it back to me.” Tiffany pun ikut tertawa. “Tidakk… jangan khawatir tentang itu. Kalau itu
memang pilihanmu, kami akan berusaha sebaik mungkin menemukan pasangan yang cocok untukmu.” Aku sangat berharap MBD tidak akan mengecewakanku karena sejujurnya inilah satu-satunya jalanku bisa menunjukkan kepada Changmin bahwa aku bisa menemukan laki-laki yang menginginkanku, bahwa mungkin mencintaiku. Setelah selesai interview, Tiffany lalu menjelaskan perjanjian yang harus aku tanda tangani. Garis besar perjanjian itu berisikan tentang hak-hakku sebagai klien, dan beberapa peraturan yang sebaiknya dipatuhi oleh setiap klien. Beberapa
peraturan itu adalah:
1. Untuk setiap kencan pertamaku, MBD akan mengaturnya untukku. Jika aku
menemukan kecocokan dengan date-ku maka mereka memberiku kebebasan
mengatur kencanku selanjutnya sendiri.
2. Aku harus makan di restoran yang telah dipilih oleh mereka untuk setiap
kencan pertamaku karena ini salah satu cara MBD menjaga keselamatanku.
3. Aku diwajibkan menelepon MBD jika akan terlambat lebih dari 15 menit
untuk kencanku agar date-ku tidak harus menunggu lama atau apabila
kencanku harus dijadwal ulang.
4. Setiap klien wajib membayar makanan mereka masing-masing. Awalnya aku
agak bingung dengan peraturan ini, tetapi kemudian aku dapat memahami
logikanya. Tentu saja MBD tidak akan membebankan setiap makan malam
atau makan siang kepada klien laki-laki.
Setelah kutandatangani perjanjian itu, kukeluarkan American Express-ku untuk membayar biaya jasa mereka sebesar dua ribu dolar. Hal ini akan mengikat MBD denganku selama enam bulan ke depan. Tiffany kemudian memastikan semua pertanyaanku sudah terjawab, lalu menggiringku ke luar ruangannya dan mengantarku hingga ke mobil. Dia berjanji akan menghubungiku lagi secepatnya untuk mengatur jadwal kencanku.
TBC
ditunggu coment-an nya ya :)
